Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
— Aletha
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dan sepanjang perjalanan, gue tenggelam sebagai seorang Aletha Jasmine Nayara yang Rayyan kenal satu tahun lalu. Sebagai temen satu angkatan yang pendiem, cuma bertemen sama satu dua orang.
Lagipula, gue juga gak tau harus bicara apa sama Rayyan. Ungkit-ungkit masalah helm lagi? Bahas tentang sekolah? Lemah banget, ketauan banget gue orangnya gak seru.
Duh, asli deh. I'm not good at this.
"Yara, abis ini masih lurus kan?"
Gue yang tadinya cuma ngeliatin handphone sebagai gateaway dari segala kecanggungan di atas vespa warna hitam ini langsung ngedongak. Ngintip dari balik bahu Rayyan ke spion kiri.
Yang kemudian dia buka kaca helmnya.
Ya salam.
"Iya, masih lurus—"
Rayyang ngangguk ngangguk sebelum kembali ngelontarin pertanyaan,
"berarti rumah lo deket sama banyak toko kopi dong ya?"
"Iyaa. Deket sini kan ada Kopi Nalar, terus Kopi Kalyan sama Kulo. Antara rumah gue sama Tuku aja tinggal jalan tau."
"Ke Kopi Kalyan dulu mau gak, Ra?"
Ada keheningan di situ karena gue yang gak tau mau ngerespon apa. Apa ini cuma ngalus yang sepantasnya gue tolak atau emang pendekatan yang gue harapkan?
Hah bentar kok "gue harapkan" sih??
Emang gue ngarepin Rayyan apa?
"Terserah sih, gue ngikut."
"Yah, jangan terserah dong."
"Yaudah, bolehh. Gak sampe malem banget kan?" Tanya gue sebagai persetujuan.
Lampu jalan berubah jadi kuning pas Rayyan senyum, nutup kaca helmnya kemudian siap-siap untuk kembali melaju.
"Sampe pagi, Ra. Main dikit lah sekali-sekali."
"Yang ada gue diusir dari rumah, Yan."
Di tengah vespanya yang melaju, gue malah nunduk. Ngeliat jaket jeans yang dia pake kemudian ketrigger sendiri.
Ini bahaya. Gimana tangan gue yang gemeletek mau menyengkram jaket dia itu.
Tapi buat apa?
Pikiran gue baru berhenti pas vespa itu berhenti juga di depan Kopi Kalyan. Dia yang kemudian buka helm, benerin rambutnya yang berantakan sambil nyuruh gue untuk turun.
"Kalo mau masuk duluan, masuk aja."
"Iya, gue nunggu aja." Jawab gue sambil nyerahin helm (temen) dia. Kemudian ngekor Rayyan pas masuk ke dalam tempat itu.
"Kenapa gak mau di situ deh, Ra?"
Baik gue maupun dia duduk bersebrangan di salah satu meja panjang di situ. Di depan flat white yang baru dianter di depan gue, juga cappuccino di depan dia.
"Gue pernah ke sini pas lagi pengen me time, pengen relax, tapi malah jadi pusing gara-gara nyender ke tembok di belakangnya itu. Suara speakernya merambat ke tembok kali ya, jadi ikutan geter."
Dia cuma ketawa, "kalo mau foto-foto bilang aja, nanti gue fotoin."
"Udah jelek guenya, ya kali deh, Yan."
"Jelek apaan si?"
Ya Tuhan.
Apaan sih Rayyan, maksudnya apa ....
"Ya ... udah minyakan banget gini? Gue kalo pulang sekolah gini udah kucel, Yan."
"Tapi masih cantik ah."
Gue reflek megangin pipi gue sendiri.
Udah gila Ravendra Narayyan, gak bisa gue kayak begini.
"Yah, dibilang cantik aja malu. Seneng ya?"
"Narayyan, can you just shut your mouth up?"
"Yah, jadi galak lagi."
"Berisik."
Setelah itu Rayyan gak pernah ngebiarin gue untuk fokus ke handphone gue. Berusaha keras untuk ngelead pembicaraan yang entah udah sampai mana itu.
Membahas apa yang enggak penting untuk dibahas, semacam enakan Baskin Robbins atau Coldstone, lebih enak hangout di PIM atau Kota Kasablanka, bahas Bian, bahas guru PKN kita dan masih banyak lainnya.
Banyak ngobrol sama Rayyan, baik secara langsung maupun lewat chat, entah kenapa malah bikin gue ngerasa kalau dia gak sesupel yang selalu gue bayangkan dulu.
Di balik dia yang sering malu-maluin, cari ribut sama guru, isengin anak kelasan satu-satu, dia punya sisi introvert yang entah seberapa besar. Mungkin hanya sebagian kecil dari sisi ekstrovertnya yang kebetulan berhasil gue tangkep. Atau malah sebagaimana "Minoritas Dominan" dalam sosiologi, sisi introvert itu sebenernya jauh lebih besar, cuma gak ada apa apanya dibanding sisi ekstrovert yang entah kenapa bisa jadi lebih menonjol.
Jadi ngeliat dia yang berusaha untuk melanjutkan pembicaraan biar gak pernah putus, baik sekarang maupun di chat seperti biasanya, adalah hal yang sangat-sangat keren.
Tanpa sadar, gue malah senyum. Di tengah dia yang masih cerita ini itu tentang anak angkatan yang gue gak peduli siapa-siapa aja, gue senyum karena satu alasan pasti,
Narayyan udah berhasil mencuri hati gue sepenuhnya dan gue sangat senang dengan kenyataan itu.
🥀 a.n guess who's gonna meet "this" narayyan again on july 15th?
me.
who's in? 🙋🏼♀️
btw terima kasih atas comment kalian di chapter sebelumnya! i've read all of them and touched by it.
semoga aku bisa ngasih konten cerita yang lebih baik lagi dan lagi kedepannya! xo.
p.s. anggap aja ini double update karena akhirnya aku selesai ukk.