7. With You

726 141 53
                                    

21.00

Rumah Dira nampak begitu gelap, bahkan jika dilihat dari jarak terjauh sekalipun. Sebelum tadi sore ia pergi ke cafe, ia lupa menyalakan lampu rumah terlebih dahulu. Mungkin orang-orang yang sedari tadi melewati rumahnya berfikir jika rumah itu kosong tak berpenghuni.

Perlahan ia memakirkan scooternya, menapakkan kakinya ke dalam rumah. Tak ada rasa takut sedikitpun dalam dirinya, padahal disana sangatlah gelap.

Tangannya mulai meraba-raba dinding-dinding rumah mencari tombol lampu berada.

Cklek..

Seketika, rumah Dira berubah menjadi terang dengan sinar lampu yang menyinari, tak seperti tadi yang nampak begitu gelap.

Ia menggantungkan jaketnya ke gantungan baju. Merebahkan tubuhnya ke tempat tidur yang ukurannya yang tak terlalu besar, namun sangat nyaman untuknya.

Tangannya ia posisikan ke atas menopang kepalanya, sambil menatap atap-atap rumah, ia mengingat kejadian tadi bersama Arka.

Sesekali ia mengukir senyum lebar di wajah cantiknya, baru kali ini ia bicara cukup banyak dengan seseorang. Bahkan orang itu adalah orang yang baru saja ia kenal beberapa hari yang lalu.

Tapi Dira merasa nyaman jika bersama Arka, berbeda jika ia berada di samping orang lain.

"Ada apa dengan diri gue sebenarnya? Gue bisa bahagia setiap berada di sekitar Arka. Dan dia juga tak terlalu buruk, dia baik dan ramah. Tapi apa mungkin jika nantinya dia tahu kehidupan gue yang sebenarnya, dia bakal ngejauhin gue? Secara dia kan anak paling populer disekolah. Sedangkan gue? Gue bodoh, pemales, bahkan gue punya penyakit yang mungkin suatu saat nanti bisa saja merenggut hidup gue kapan saja." Lirihnya hampir seperti bergumam.

Sampai saat ini, penyakit Dira belum ada yang mengetahui, kecuali dirinya sendiri dan dokter pribadinya 'Dokter Rafi'.

Bahkan jika ia ingin memeriksakan kondisinya, ia selalu bertanya pada Dokter Rafi, apakah ada anak yang satu sekolah dengannya sedang berada disana atau tidak. Dira tidak ingin banyak orang yang mengetahui mengenai penyakit yang sekarang di deritanya tersebut.

Alasan di balik itu semua, hanyalah karena ia tidak mau merepotkan orang-orang yang berada di sekitarnya. Meskipun ia tidak terlalu banyak memiliki seorang teman atau orang di hidupnya.

Dira sebenarnya orang yang mudah di dekati, hanya saja teman-teman di kelasnya tidak menyadari hal tersebut.

Mereka hanya menilai Dira dari luarnya saja yang nampak begitu pemalas dan pendiam.

"APAKAH GUE SEBURUK ITU!" Teriak Dira diiringi dengan cairan bening yang menetes dari pelupuk matanya.

"Kenapa juga gue harus punya penyakit kaya gini." Nada suaranya menurun.

"Ayahhh." Lirihnya seperti memohon akan kedatangan ayah tersayangnya.

Menenggelamkan wajahnya ke dalam empuknya bantal bergambarkan boneka bear.

Tiba-tiba Dira kembali merasakan sakit di kepalanya, ini bahkan lebih sakit di bandingkan yang sebelumnya.

"AKHH" Pekik Dira kesakitan sambil menekan kepalanya, berusaha mengurangi rasa sakit pada kepalanya. Namun nihil, sakit di kepalanya tidak mereda, namun malah semakin bertambah parah.

"AKH sa- sakit." Ringisnya sekali lagi.

Kali ini, ia benar-benar tak kuat menahan rasa sakit di kepalanya. Tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri
frustasi. Dira bangkit dari tempat tidurnya.

Ia berniat ingin mengambil ponselnya yang sebelumnya ia taruh di saku jaketnya, ia berencana menelfon Dokter pribadinya. Berjalan sempoyongan menuju arah gantungan baju. Pandangannya seketika berubah menjadi buram dan..

ALDIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang