Di sofa panjang berwarna hitam di ruang tamu, Dira tertidur dengan posisi meringkuk. Dengan keadaan air mata kering yang masih dapat terlihat jelas dikedua pipinya.
Keadaannya semakin buruk, pasalnya sudah beberapa hari ini ia jarang makan, obat dari Dokter Rafi pun tak sedikitpun ia sentuh. Dan untuk menghindari kontak mata dengan Arka, ia sampai tak berangkat ke sekolah.
Beberapa panggilan masuk dari sekolah sudah sering ia dapatkan. Bukannya gelisah, ia malah mengabaikannya.
Sinar matahari menerobos masuk melalui kaca jendela tepat mengenai wajah lusuh Dira. Mengerjap. Merasa tidurnya terganggu. Mengucek matanya dan dengan kekuatan seadanya ia berusaha untuk bangun dan duduk.
Kosong. Tatapan kosong yang selalu ia hadiahkan pada lingkungan rumahnya setiap pagi hingga malam nanti. Tak ada yang dilakukan. Hanya terduduk dan terduduk.
Ting.. ting..
Ting.. ting..
Terdengar bunyi notif pesan masuk. Itupun tak membuat tatapannya beralih. Sudah seminggu lamanya ia mengabaikan semua yang berkaitan dengan lingkungan luar.
Drtt.. drtt..
Panggilan masuk. Tak coba ia terima, ataupun hanya sebatas melihat panggilan tersebut berasal darimana.
Sungguh sikap Arka waktu itu membuat semangat hidup Dira mulai menghilang. Sikap dan sifatnya terdahulu perlahan demi perlahan mulai masuk ke dalam dirinya kembali.
17.00
Suara ketukan pintu beberapa kali terdengar mengusik pendengaran Dira. Ia yang awalnya tertidur pun mengerjapkan matanya malas. Berjalan merangkak meraih ganggang pintu. Pandangan yang masih kabur ia gunakan untuk merangkak.
Bayangkan berapa banyak benda kaca yang terjatuh dan pecah hingga melukai kakinya. Darah segar mulai berceceran seiring dengan arah kakinya pergi.
Cklekk...
Bukan! Itu bukan Dira yang membuka pintu. Melainkan seseorang dari seberang pintu yang mencoba menerobos pintu tersebut.
“Hei, ini rumahku.. mengapa kau yang membuka pintunya?” Ucap Dira tanpa menoleh dan malah menundukkan kepalanya berusaha untuk tertidur kembali. Tak begitu mempermasalahkan apa yang baru saja terjadi.
“Dir..” Berjongkok mensejajarkan pandangannya dengan tubuh Dira.
“Hm...” Ia mengangguk tanda ia mendengar ucapan orang tersebut.
“Dir, lihat kemari. Aku datang..” Menyentuh perlahan pundak Dira.
“Hm.” Jawabnya singkat.
“Kenapa kamu ninggalin aku sendiri, huh.” Tanyanya sambil mendongakkan wajah Dira untuk menghadapnya.
Seolah mendapat kemampuan untuk berbicara. Dira refleks membolakan matanya dan menatap orang tersebut tajam. Dengan kaki yang terluka dan kekuatan sedanya ia mencoba untuk berdiri.
“Bodoh! Lo yang ninggalin gue! Lo yang ngehindar dari gue! Dan lo juga yang gak mau ketemu sama gue! Apa lo gak punya mata buat lihat itu semua! Gue udah kayak orang gila kesana-kemari buat mau ngejelasin ini semua ke elo, dan apa yang lo lakuin.. lo.. lo.. hhiks” Menangis. Terduduk memeluk lututnya. Ingatannya kembali memutar kejadian beberapa hari yang lalu.
Ia sudah tak dapat berfikir jernih. Seakan panggilan yang selama ini sudah tidak mereka gunakan, mulai terucap kembali.
Arka mendekati Dira dengan langkah gugupnya. Ya! Dia salah! Ia juga telah sadar akan hal itu. Berjongkok di depan sang kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDIRA
Teen FictionAku harap, kau dapat melihat bayangan diriku dalam penglihatanmu yang baru. Jangan khawatir padaku, karena keheningan disini membuatku nyaman untuk perlahan menutup mataku. Semoga cerita yang pernah kita tuliskan bersama, diakhiri dengan kata bahagi...