Happy reading:)
22.00
"Bagaimana perkembangannya?" Tanya Ibu Arka pada seorang Dokter muda di hadapannya.
Mereka berdua pergi keluar secara diam-diam tanpa sepengetahuan Dira dan suaminya untuk memeriksakan perkembangan keadaan mata Arka. Walaupun Dira dan suaminya sudah meengetahui akan hal ini, namun ada dorongan aneh dalam dirinya untuk pergi sendiri tanpa sepengetahuan orang lain.
"Seperti yang sudah saya katakan, akibat kecelakaan yang dialaminya waktu itu, penglihatannya akan semakin bertambah buruk dari waktu ke waktu."
Wanita itu menunduk, ia tak mau melihat anak satu-satunya tak mampu melihat indahnya masa depan miliknya kelak.
Arka hanya mampu menghela nafas panjang. Yang ada difikirannya sekarang bukanlah bagaimana caranya untuk sembuh, tapi bagaimana caranya ia akan melihat Dira di masa depan.
"Lalu?" Tanya Ibu Arka lagi.
"Ada satu cara. Kita akan melakukan cangkok mata. Apakah Anda dan Arka tidak keberatan?" Tanya Dokter muda di hadapannya.
"Terserah. Jika itu bisa membuatku melihat lagi." Singkatnya seperti orang tak merasa butuh akan hal itu.
"Baiklah, siapa yang akan menjadi pendonornya?" Tanya Dokter muda itu.
"Periksa mataku!"
***
Sinar rembulan yang masih setia menghiasi langit malam. Sepasang mata dengan diamnya tengah mengamati suasana malam yang begitu tenang. Kedipan bulu mata berulang kali menutup-terbuka menyapu debu yang asik menyapu wajah.
Dira berdiri di balkon kamarnya. Tangan kanannya terulur memegangi dadanya yang perlahan terasa sesak. Nafasnya memburu. Sekejap kemudian, kristal bening mulai turun membasahi pipi tirusnya.
"Jika memang ini semua tidak berhasil, kumohon.. beri aku kesempatan satu kali lagi untuk hidup."
"Aku ingin tetap dan selalu mencintai Arka."
Pertahan kakinya roboh. Terduduk di tengah hembusan angin malam yang cukup terasa dingin.
"Dira.."
Dengan cekatan kepalanya menoleh. Mengusap kasar air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. "Ibu?" Berdiri memandangi sebuah bayangan yang semakin mendekat ke arahnya.
"Belum tid- hei kau menangis?!" Menangkup kedua Dira. Memandanginya khawatir.
"Menangis? Akh, tidak." Mencoba memberikan senyuman palsu.
Beberapa detik terdiam saling melempar pandang. Mata Dira bergetar, begitupun dengan bibir tipisnya yang sudah bergetar hebat menahan air matanya. Ia tak kuasa menahan air mata yang semakin lama semakin mendesaknya untuk segera dikeluarkan.
Bugg..
Pelukan dadakan ia hadiahkan pada Ibu Arka. Menumpahkan tetesan bening air mata disana.
"Aku ingin sembuh.. Ibu.. Aku ingin sembuh. Aku ingin Arka.. Aku ingin bersama Arka." Membuat suara tangis yang cukup pelan, namun sukses membuat wanita paruh baya itu ikut menitikkan air mata.
"Hustt.. Kau akan sembuh, bukankah beberapa hari lagi kau akan melakukan operasi?" Mengeratkan pelukan antar keduanya.
"Tapi, dok- "
"Bukankah kau punya tuhan? Yakinlah pada tuhanmu! Semuanya akan baik-baik saja!" Melepas pelukan. Menepuk sebelah pundak Dira dan tersenyum untuk menetralkan keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDIRA
Teen FictionAku harap, kau dapat melihat bayangan diriku dalam penglihatanmu yang baru. Jangan khawatir padaku, karena keheningan disini membuatku nyaman untuk perlahan menutup mataku. Semoga cerita yang pernah kita tuliskan bersama, diakhiri dengan kata bahagi...