Happy Reading:)
Diatas sana, langit masih terasa gelap dengan setitik kirlapan cahaya bintang menerangi langit hitam untuk menutup hari.
Terlihat Rita menggenggam satu tangan Dira yang tidak terdapat kabel infus dengan penuh hati-hati. Ini sudah hampir tengah malam, namun Dira belum juga terlihat membuka matanya ataupun hanya sekedar menggerakkan jarinya kecil.
Rita memandang miris keadaan Dira yang kini sedang terbaring lemah dengan kebel infus yang menghiasi tangan putihnya.
Seharusnya waktu itu ia langsung membantu Dira, bukannya hanya sibuk mendengarkan rintihan kesakitan temannya di ambang pintu. Bodoh. Sungguh bodoh.
“Penyakit apa yang kau sembunyikan dari kami, hah? Dasar bodoh!”
Tak sadar, air mata mengalir indah dari pelupuk mata Rita. Ia sadar, jika selama ini ia tidak begitu dekat dengan Dira. Namun, entah mengapa perasaan iba tiba-tiba menjalar di tubuhnya melihat Dira terkulai lemas di lantai kamar mandi.
“Cepatlah buka matamu. Dan beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi.”
20 menit Rita meracau dengan mengatakan untuk Dira agar cepat-cepat membuka matanya dan meminta penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi, sampai akhirnya ia dapat merasakan ada sesuatu yang bergerak di bawah telapak tangannya.
Dira membuka mata dan sedikit mengerjap-ngerjapkan matanya silau akan cahaya bulan yang menerobos masuk ruangan.
“Akh, akhirnya.. kau sudah bangun?” Gumam Rita mengelap air mata yang sedari tadi mengalir deras di pipinya.
Hal pertama yang dirasakan Dira adalah rasa pusing dan pening yang timbul dari kepalanya.
“Akhh.. sakk- ” Dira tak melanjutkan ucapannya disaat matanya menemukan Rita yang tengah memandangnya iba.
“Rita? Mengapa kau disini? Dan aku..”
Rita mengangkat wajahnya dan ia sangat bersyukur temannya saat ini sudah tersadar dan dapat kembali membuka matanya.
“Ah, syukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu, Dira? Apa ada yang sakit?” Tanya Rita sambil menelusuri setiap inchi tubuh Dira.
“Akh tidak, kepalaku hanya pusing dan.. Ah ya, apa kau yang membawaku kemari?” Rita menganggukkan kepalanya pelan.
“Terimakasih.” Ucap Dira berterimakasih.
Rita menatap kembali Dira dengan tatapan miris “Dir..”
“Ah ya?” Mendongakkan kepalanya mencoba mensejajarkan wajahnya dengan wajah sang teman.
“Em, apa aku boleh bertanya. Tapi jawablah dengan jujur, kumohon!”
Dira sedikit merasa ragu dengan ucapan Rita. Hatinya berdegup tak beraturan. Wajahnya terlihat seperti tak nyaman. Namun, bukankah jika ia menolak pertanyaan tersebut ia akan membuat Rita kecewa? Bukankah dialah orang yang menyelamatkan dirinya.
Toh lah itu hanya sebuah pertanyaan kan? Bukannya hukuman mati? Mengapa harus takut?.
“Hm.” Menganggukkan kepalanya ragu.
Rita menghela nafasnya panjang sebelum akhirnya berkata “Apa yang sedang kau sembunyikan dari kami semua? Waktu itu aku mendengar perkataanmu, kau merintih kesakitan di dalam kamar mandi. Dan..“ Rita menghentikan ucapannya sebentar. Menghela nafas panjang.
Dira membolakan matanya mendengar ucapan yang Rita lontarkan. Ia terkejut.
“Kau sedang sakit apa? Apa separah itu hingga kau berkata bahwa 'ini mungkin adalah akhir dari semuanya?' Apa yang kau sembunyikan? Bicalah padaku!” Rita memeluk Dira dengan sangat erat, menumpahkan air matanya disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDIRA
Teen FictionAku harap, kau dapat melihat bayangan diriku dalam penglihatanmu yang baru. Jangan khawatir padaku, karena keheningan disini membuatku nyaman untuk perlahan menutup mataku. Semoga cerita yang pernah kita tuliskan bersama, diakhiri dengan kata bahagi...