25. Problem

300 34 18
                                    

Drtt.. Drtt..

Bunyi getar ponsel membuyarkan lamunan Arka yang sedari tadi terfokus pada air danau dengan pantulan sinar rembulan di depannya.

“Nomor tak dikenal?” Batinnya dalam hati.

“Halo. Ah ya? Siapa?”

“AP– PA?! Baiklah aku akan kesana sekarang!”

***

 2 minggu berlalu...

Semilir angin mengiringi tawa anak-anak kecil yang tengah bermain dengan cerianya di taman bermain.

Tak begitu ramai, namun kebahagian dapat terlihat jelas dari wajah para wanita maupun pria paruh baya yang tengah duduk memandangi anak-anak mereka tertawa dengan begitu puasnya.

Ini sudah cukup sore, namun langit masih saja terlihat cerah oleh matahari.

Akankah aku bisa seperti mereka? Memiliki seorang anak manis dan bermain bersama seperti ini.. berlari di bawah terik matahari.. bercanda.. – Gumam Dira dalam hati dengan senyuman.

Terduduk sendiri di bangku taman berhiaskan pohon-pohon besar di sekelilingnya.

Drtt... Drtt...

Dengan perlahan Dira merogoh saku celana jeans yang ia kenakan, dan menemukan ponsel yang sudah tertera nama seseorang dilayar utama ponselnya.

“Halo?”

“...”

“Baiklah, aku akan kesana dalam 10 menit.”

“...”

“Tentu, aku akan berhati-hati.”

Tut..tut..

Memasukkan kembali ponselnya. Beranjak dari tempat duduk dan berjalan kaki menuju sebuah tempat dimana ia akan bertemu dengan seseorang.

***

Cafe. Disanalah langkah kaki Dira terhenti. Berjalan memecah kerumunan orang menuju tempat duduk yang dimaksud.

“Akh.. kau sudah datang..”

“Hm, apa sudah lama?” Tanya Dira sembari duduk dibangku pria didepannya.

“Tidak, mau minum? Aku yang traktir.” Tawarnya.

“Wohoo.. ada apa ini? Kau mentraktirku? Ahh.. baiklah. Aku ingin minum jus.” Jawab Dira dengan nada mengejeknya.

“Okee.”

Beberapa menit mereka habiskan hanya dengan candaan dan saling mengejek satu sama lain. Namun, juga ada saatnya mereka serius dengan apa yang memang menjadi tujuan mereka berdua disini. Sikap dingin Dira juga lama-kelamaan perlahan mencair seiring berjalannya waktu.

BRUAKK..


***

“Arka, lepaskan ini sakit!” Dira meronta mencoba melepaskan cengkeraman tangan Arka dari lengannya. Seakan tuli akan suara, Arka masih saja menyeret tubuh Dira keluar cafe hingga sampai kedepan rumah Dira yang nampak sepi tak ada orang. Menghempaskan tubuh Dira dengaan sangat kasar ke lantai.

Tatapan tajam penuh amarah ia hadiahkan kepada Dira yang sedari tadi hanya mampu menahan tangis dipelupuk matanya. Sakit. Malu. Hanya itu yang ia rasakan.

Bayangkan tubuhmu diseret melewati kerumunan orang dipinggir jalan. Menatapmu dengan sorot mata yang tak dapat dijelaskan. Itulah yang Dira rasakan.

ALDIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang