*Debby's POV*
Aku mengeliat berbalik arah saat teriakan Austin sukses menggema disertai ketukan yang terkesan ingin menjebol pintu kamarku dari luar, bocah itu terus mengumpat panjang lebar meneriakiku bak alarm rusak, tetapi sayangnya aku masih asyik menempel pada bantalku, menarik selimut hingga kepala lalu kembali terlelap
"Bangun gadis bodoh!"
Kurasakan selimut yang melekat nyaman di tubuhku tertarik di sertai sorot mata Austin yang seolah ingin membakarku hidup-hidup, adik durhaka!
"Jam berapa?"
"setengah delapan."
"APA?"
Aku buru-buru melompat dari kasurku dan berlari ke kamar mandi, aku tidak biasanya bangun sesiang ini, paling tidak pukul 06.00 aku sudah bangun namun tadi malam aku begadang sampai pukul 2.00 dini hari untuk mengerjakan tugas sejarahku dan jadilah pagi ini semua aktifitasku dilakukan serba buru-buru dari mulai mandi, berpakaian, mengikat asal rambutku hingga memakan roti panggangku
"Aku pergi."
susah payah kutelan sisa rotiku dan dengan segenap ragaku menyambar tas siap berlari menuju halte
"Debby."
"Jangan ganggu aku, aku sedang mencari tasku nah ini dia."
"Debby."
"......"
"Debby bodoh!!"
"Apa sih kau bocah hobi sekali mengataiku bodoh?"
aku yang sudah siap memutar knop pintu berbalik dan menatap membunuh pada siapa lagi tentu saja adik durhakaku satu-satunya
"Kau yakin mau ke sekolah?"
"Tentu saja, memang ada apa?"
"Kau yakin akan mengenakan itu ke sekolah?"
Aku mengikuti arah telunjuk Austin dan detik berikutnya melongo sukses melihat apa yang ku kenakan kini, sandal tidur bergambar kepala Donal duck!
"Ya Tuhan..."
aku segera naik kembali ke kamarku mencari keberadaan sepatu hitamku itu dan sialnya lagi dari bawah kudengar jelas tawa Austin menggema, bocah sialan
-
*Author's POV*
Pria bermata hazel itu sibuk mengecek arloji di pergelangan tangannya, pukul 07.45, tiga puluh menit sudah ia menghempaskan diri di kursi halte yang dingin dan sama sekali tidak empuk, 15 menit lagi gerbang sekolahnya akan ditutup dan harusnya ia sekarang sudah berada di dalam bus menuju sekolahnya yang memakan 10 menit lamanya perjalanan
"Aaa..... bus mana bus,"
Justin menoleh dan mendapati yang ia tunggu berlari tersaruk-saruk sambil mengomel panjang lebar
"Lho Justin?"
Debby menatap heran Justin yang masih setia duduk di kursi halte depan komplek, Justin menatapnya sekilas dan berdehem acuh mengingat ia kan memang sedang marah pada gadisnya.
"Sedang apa kau disini?"
"Menunggu bus lah menurutmu?"
"Tapi tak biasanya kau belum berangkat apa kau...."
"Aku terlambat bangun!"
jawabnya ketus membuat semua angan Debby menguap ke udara, sesaat memang terbesit harapan kalau Justin masih terpaku di halte sekedar menunggunya untuk ke sekolah bersama namun melihat rauh muka Justin yang keruh semua angan Debby itupun sukses terbang entah kemana.
Tak lama bus yang mereka tunggu telah datang, sepanjang perjalanan Debby dan Justin sama-sama diam tak berniat membuka obrolan, Debby sendiri yang melihat wajah datar nan dingin kekasihnya itu mendadak ciut untuk menanyakan sikap Justin yang terkesan beda dari semalam hingga sekarang, sedangkan Justin sendiri entah apa yang ia pikirkan pria itu masih asyik dengan buku sainsnya.
"Debb.."
"Ya?"
Debby menoleh cepat dan memastikan pendengarannya tak salah bahwa Justinlah yang memangilnya
"Ada apa Just?"
"Aku hanya ingin tanya, ya iseng sih."
Justin berucap acuh sambil tatapan matanya lurus menatap rentetan tulisan teori sains yang membuat otak panas
"Iya ada apa Justin?"
"Kau akrab ya dengan Yair Danor?"
Justin memang berucap lirih namun telinga Debby masih sangat peka untuk menangkap nada ganjil di suara Justin, Pria itu terdengar emm... cemburu.
"Ah..... Mr.Bieber ini cemburu?"
Debby menyikut pinggang Justin sambil menaik-naikan alisnya.
Wajah Justin memerah seketika, seumur hidup belum pernah ia semalu ini.
"Ti.. tidak siapa bilang aku cemburu? Ini adalah emosi, berbeda bukan cemburu."
tangkis Justin masih mencoba berkosentrasi pada buku sainsnya namun gagal
"Mengaku saja lah bieber, kau lucu sekali jika sedang malu..."
Debby merebut buku yang menutupi wajah Justin dan terlihatlah wajah Justin yang masih bersemu merah dan sukses membuat Debby memekik girang
"Diamlah!"
maki Justin kesal lalu membuang pandangannya ke luar bus yang mulai memasuki halte depan Abraham
"Tenang saja, aku dan Yair hanya teman, aku hanya mencintaimu, you are the one."
Debby bangkit dan mengecup cepat pipi Justin dan tepat pada saat itu juga wajah Justin 1000 kali lebih memanas dari sebelumnya, Debby tersenyum malu dan mendahului keluar dari bus sementara Justin masih terpaku di tempatnya sambil memegang pipi kanannya, wajahnya tersunging senyum dan jantungnya berdetak lebih cepat, Love is always amazing.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Arrogant Boyfriend
Teen Fictioncinta itu tidak memandang seberapa buruk pasangan kita, bukankah kekurangan dan kelebihan akan menjadi sempurna? WARNING!! THIS STORY IS BY NINDYA KARTIKA NOT BY ME