Part 4

75 74 17
                                    

Aku masih diam menatap Bunda yang telah duduk di sampingku.

"Talia, minum dulu ya, teh hangat nya?"

"Iya tan, eh maksudnya Bunda,"kataku.

"Nah gitu dong."

Aku meminum teh hangat yang di buat oleh Bunda. Rasa manis bercampur aroma daun teh yang sangat nikmat.

"Makasih Bunda,"kataku.

"Iya sama-sama. Reno!!"teriak Bunda.

"Iya Bun, ada apa?"

Reno keluar dari dalam kamarnya.

"Ngapin sih, di dalam kamar aja. Ada teman kamu nih."

"Hehehe, ada urusan Bun,"jawab Reno.

"Yasudah, ajak Talia ke kamar kamu."

"Ngapain Bun?"

"Talia akan ganti baju di kamar kamu."

"Gak di kamar mandi aja sih Bun."

"Ih kamu, teman sendiri juga. Sudah sana ajak Talia."

"Iya deh, iya,"jawab Reno pasrah.

"Talia, ikut Reno yah. Kamu ganti baju kamu dulu, Bunda takut nanti kamu sakit."

"Mhm iya Bun."

Aku berjalan mengikuti Reno dan masuk ke dalam kamar Reno.

"Lo gak keluar?"tanyaku.

"Ya keluar lah, masa aku nungguin kamu ganti baju."

"Hehehe, yasudah sana keluar."

"Tapi kamu jangan ngambil barang-barang berharga di kamar aku ya,"kata Reno mengingatkan.

"Hahahaha, barang berharga gimana? Dibandingkan dengan rumah gue, barang-barang lo nih gak ada apa-apanya,"kataku.

Reno hanya diam tanpa membalas perkataanku dan dia pun keluar. Aku segera mengganti bajuku. Setelah selesai aku keluar.

"Sudah?"tanya Reno.

"Iya,"jawabku.

Aku menuju ke ruang tamu, di sana masih ada Ayah dan Bunda.

"Gimana bajunya, gak terlalu jelek kan?"

"Hahaha, gak kok Bun. Bagus,"kataku.

Sambil menunggu hujan reda, aku menghabiskan waktu bersama Ayah dan Bunda bercerita-cerita.

Saat hujan mulai reda, aku pulang menaiki taxi karena aku tidak berani naik motor Reno lagi.

Sekarang aku sudah berada di rumah, dengan mama dan papa yang sedang marah-marah dengan pak Asep.

"Bapak ini gimana? Saya suruh jagain anak saya. Antar dan jemput sekolahnya, tapi malah gak jemput Talia. Lihat anak saya basah kuyup karena bapak. Kalau begini bapak bisa saya pecat,"kata Papa yang marah.

"Benar Pa, kita pecat saja Pak Asep ini. Kerjaanya gak benar. Di suruh antar jemput Talia, malah bantuin orang di jalan,"kata mama.

"Maaf, nyonya tuan. Saya minta maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan benar. Saya mohon jangan pecat saya,"kata Pak Asep memohon.

Aku masih diam melihat pertengkaran ini.

"Tidak bisa, kamu akan tetap saya pecat. Saya tidak bisa memperkerjakan orang yang akan membahayakan anak saya satu-satunya. Sekarang juga kamu saya pecat,"kata Papa.

"Saya mohon tuan, saya mohon,"kata Pak Asep lagi.

"Pa, Ma. Jangan pecat Pak Asep deh. Kita kasih kesempatan sekali lagi. Aku kan gak apa-apa juga,"kataku kemudian.

"Tapi sayang, kalau kamu gak di jemput lagi gimana?"

"Aku bisa naik taxi kok Pa, Papa tenang aja."

"Yasudah. Tapi ingat kalau kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi. Saya akan pecat kamu detik itu juga,"kata Papa memberi peringatan.

"Iya tuan,"jawab Pak Asep.

"Yasudah, sana ke belakang!"perintah Papa pada Pak Asep.

"Baik tuan."

Pak Asep berjalan ke belakang menuju dapur.

Aku menatap wajah Papa dan Mama, dan kembali mengingat wajah senang Ayah dan Bunda. Dan juga sikap Ayah dan Bunda yang memanjakanku.

Seandainya, Ayah sama Bunda itu orang tua aku. Pasti aku bahagia banget.batinku dalam hati.

"Pa, ma, Talia ke kamar dulu ya?"pamitku.

"Iya,"jawab keduanya bersamaan.

Aku berjalan menaiki anak tangga, menuju kamarku yang berada di lantai atas.



***

HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang