25 - Masa Lalu

176 25 0
                                    

Perasaan kesal karena kejadian pulang sekolah tadi masih melekat di relung hati. Bukannya saat itu aku tidak ingin ke rumah Engga. Bukan. Tidak seperti itu kejadiannya.

Aku berpikir ada kekuatan yang bisa mengantarku ke rumah Engga, yaitu Ical. Dia yang menjadi alasanku menemui Engga, karena Ical adalah sepupu Engga. Jika sumber alasanku sudah hilang, lantas apa yang menjadi alasanku datang ke rumah Engga?

Aku mungkin bisa datang tanpa Ical. Tapi apa aku bisa bertingkah wajar jika dihadapkan dengan Engga? Jika itu semua berjalan lancar tidak masalah, namun bagaimana jika aku bertingkah seperti patung hidup di hadapan Engga. Kurasa itu semua bukan hal yang bagus.

Drettt drettt...

Terdengar getar berkali kali dari handphone yang tergeletak di sebelahku. Kulihat dari nomer yang sama dengan kemarin. Namun kali ini sudah tersimpan dengan nama anonymous.

"Oke kamu menang!" kataku yang mulai kewalahan sembari mengangkat ponsel yang berkali kali berbunyi itu.

"Hai!" sapanya lewat telepon. Aku hanya diam, mendengarkan apa yang ingin dia katakan. Si penelepon anonymous itu juga diam. Sesaat hening.

"Hai item!" sapanya lagi. Namun kali ini ucapannya mengingatkanku akan seseorang.

"Kok diem aja?" suaranya semakin khas.

"Langit warnanya apa?" tiba tiba terdengar suara dari ujung ponsel yang berhasil membuatku angkat bicara.

"Biru"

"Kalo laut?"

"Biru"

"Kalo warna kesukaan gue?"

"Biru juga" jawabku keceplosan. Dia benar benar pandai memancingku berkata. Di ujung telepon kudengar dia tertawa.

"Lo masih mengenal gue dengan baik" katanya menyindir. Aku hanya diam tak menyahut ucapannya.

"Lo tau kenapa gue suka warna biru?" tanyanya memecah suasana hening.

"Kenapa?"

"Karena gue gasuka merah" ujarnya sedikit tidak masuk akal. Aku tidak menyahutnya, hanya ada suara hembusan nafasku yang terdengar begitu jelas.

"Lo tau kenapa gue diciptakan jadi laki laki?" muncul pertanyaan konyol darinya.

"Karena gak diciptain jadi perempuan"

"Salah" jawabnya tegas. Padahal sebelumnya aku mengira hipotesisku benar.

"Lalu?"

"Supaya gue bisa menjaga cewek yang saat ini gue ajak bicara" ujarnya yang kudengar jelas di ujung telepon. Perlakuannya membuatku membatu, satu kata pun tidak bisa terlontar.

"Hallo masih disana?" ujarnya. Aku hanya berdehem.

"Belum tidur?" tanyanya

"Kalo gue belum" jeda. "Lo tau kenapa?" tanyanya kemudian.

"Kenapa?" jawabku sedikit cuek.

"Masih nunggu nyamuk!"

"Buat apa?" tanyaku heran.

"Buat gue kasih tau, supaya gak ke rumah lo apalagi gigit lo!" lagi lagi perkataannya tidak masuk akal. Dia tidak berubah. Dia masih sama, masih dengan sifat konyol dan tidak masuk akalnya. Dan anehnya sifat berlebihannya itu tidak membuatku risih.

"Udah tidur sana" jeda. "Oiya"

"Kenapa?" tanyaku yang sebelumnya sempat ingin menutup teleponnya.

"Jangan lupa cuci muka biar putihan dikit!" ledeknya.

"Dasar kam.....

Tut tut tut....

Belum sempat aku membalas sindirannya, dia sudah menutup teleponnya. Kalian mungkin berpikir siapa lelaki yang barusan menelponku. Sebelum kalian bertanya akan kujelaskan.

Namanya Agas, Agas Ardian. Tepatnya 3 tahun yang  lalu dia menghilang dari kehidupanku. Lebih spesifiknya, dia pindah sekolah karena harus mengikuti kedua orang tuanya. Dan sejak itu dia hilang seperti ditelan bumi.

Dia satu satunya cowok yang menjadi sahabatku saat duduk di bangku SMP. Dan satu satunya yang berani memanggilku dengan sebutan 'item'. Konyol. Itu semua bermula karena kejadian waktu itu.

(Flashback on)

"Hei cewek item, lempar bolanya kesini" suruh seorang lelaki berbadan atletis yang sedang berdiri di tengah lapangan. Ia menghadapkan badannya ke arahku yang sedang duduk istirahat di pinggir lapangan. Dengan badan yang masih kucel dan wajah dipenuhi keringat seusai lari, kupalingkan mukaku.

Awal kali olahraga, aku sudah menorehkan kenangan buruk dalam sejarah hidup. Itu untuk kali pertama dan terakhir aku mendapatkan hukuman berkeliling lapangan karena telat mengikuti jam olahraga.

Semua karena cewek cewek alay yang ribut di kamar mandi. Karena ulahnya, aku jadi telat berganti pakaian olahraga. Dan alhasil aku kena hukuman.

"Woyy!" gertaknya kemudian karena aku tak kunjung menjawab.

"Ambil aja sendiri, punya kaki kan?" jawabku sewot karena dia tidak memanggilku dengan benar.

"Dasar item" perkataan tegasnya membuatku ingin menumpahkan semua emosi yang sebelumnya tertahan.

"Cowok nggak punya hati" ujarku tegas sembari berdiri. Belum sempat kudekati dia yang berdiri di tengah lapangan suara peluit sudah berbunyi.

(Flashback off)

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang