42 - Penampakan

140 24 0
                                    

Setiap hentak langkahku yang bertumbukan dengan tanah hampir tak terdengar oleh telinga. Rasanya kaki begitu berat untuk berpijak. Dengan kepala tertunduk aku terus menyusuri sepanjang jalan menuju kelasku. Setiap hari selalu sama dan semakin memburuk.

Entah hari ini terhitung hari keberapa lelaki itu tidak menampakkan wajahnya di depanku. Sudah sangat lama wajah dengan balutan kumis tipis itu jarang terlihat bahkan semakin asing bagiku.

"Cih..pagi pagi udah ada penampakan" umpatku dengan tersenyum picik setelah menghempaskan tubuh mungil yang mulai mengecil akhir akhir ini ke atas kursi persis di depan kelas. Belum lama duduk disana sudah terlihat 2 penampakan dari kejauhan. Seorang lelaki yang duduk menghadap wanita yang berdiri dihadapannya. Lokasi kelas yang membentuk huruf L membuatku bisa melihat jelas siapa yang berada disana.

Kalian pasti tau siapa kaum adam dan hawa yang saling bercengkerama itu?

"Kurasa sekolah ini semakin mistis setiap harinya" desisku yang beranjak pergi meninggalkan penampakan yang membuat sekujur tubuh terasa bergetar hebat.

***

Aku terus melipat kedua tanganku dan membenamkan kepalaku di dalamnya. Bahkan untuk jajan ke kantin saja rasanya begitu malas. Bukan apa apa, rasa takut akan penampakan itu masih berkeliaran dalam otakku. Entah mereka berdua penampakan jenis apa, sungguh mengerikan. Sampai sekarang pun getaran hebat yang mengguncang seluruh tubuh terlebih hatiku masih dapat aku rasakan dengan jelas. Aku berharap tidak akan melihat hal yang serupa. Jika tidak, aku yakin seluruh tulang dan organku akan terlepas karena mereka.

"Ta lo beneran gak mau nitip sesuatu?" tanya Lily dengan suara lembut, tidak seperti biasanya. Aku menggeleng tanpa merubah posisi kepalaku yang masih berada dalam kedua tangan yang terlipat. Tidak terdengar lagi suara Lily ataupun Yuli. Beberapa saat kemudian sebuah tangan terasa menyentuh bahuku. Dengan refleks kuangkat kepalaku.

"Minta tolong ya lo bagiin uang ke siswa yang ngirim karyanya ke majalah, gue sibuk ada urusan soalnya" celetuknya dengan kalimat tanpa spasi yang dituturkan jelas kepadaku.

"Tapi ak-

"Ntar lo bisa minta tolong Lily" ujarnya beranjak berdiri sembari menyodorkan sebuah amplop besar dan selembar kertas kepadaku. "Gue minta tolong banget ya" tambahnya dengan berlari meninggalkanku. Gadis bertubuh jangkung itu benar benar sangat disibukkan dengan kegiatannya. Hingga tidak menghiraukan penampilannya sendiri.

Aku menggeleng "Namanya aja Putri tapi penampilannya gak kaya Putri" kataku pelan yang hanya bisa terdengar olehku sendiri.

***

"Makasih ya"

"Iyaa sama sama" ujar Lily beberapa kali dengan kata dan nada yang sama. Hanya saja kepada orang yang berbeda.

Aku hanya membuntuti Lily yang menyodorkan sebuah amplop kepada beberapa orang pilihan dan memintanya menorehkan tanda tangan diatas selembar kertas sebagai tanda terima. Sungguh mood-ku yang buruk membuatku malas untuk berjalan. Jangankan berjalan, berbicara saja rasanya begitu malas. Tapi aku tidak malas hidup kok tenang saja, karena masih kepengen hidup sama Engga. Hehe (Ngarep)

"Ini terakhir" cetusnya sembari menganggat 2 buah amplop ke arahku. Lily seperti paham jika langkah kakiku semakin terseret. Akupun hanya bisa menghela napas panjang, mengangguk, dan kembali membuntutinya.

Langkahku terhenti ketika baru menyadari bahwa kakiku telah menghantarkanku pada sebuah lokasi dimana ada sebuah penampakan tadi pagi. Dengan sangat cekatan aku membalikkan badanku dan bermaksud meninggalkan lokasi mistis tersebut.

"Taa lo mau kemana?" sebuah suara lembut nan lirih bak suara gadis korea memanggilku dan berhasil mengentikan langkahku.

"Kesini bentar" panggilnya. Aku terpaksa membalikkan badan dan mendekati arah suara yang memanggilku.

"Hai kak?" sapaku setelah mendapati Lily bersama dengan kak Ani. Mereka berdua berdiri saling berhadapan, hanya saja kak Ani berada di dalam kelasnya dan Lily berdiri di mulut pintu.

"Kita lama gak ketemu lo" ujarnya. Memang sejak kuputuskan menjauh dari Engga aku jadi sering tidak bertemu atau bahkan tidak pernah komunikasi dengan kak Ani. "Btw lo pucet banget?" tanyanya yang memandangiku heran.

"Noh gara gara temennya kakak" ujar Lily seenak jidat. Dengan cepat kucubit lengan gadis itu supaya mulutnya tidak bertambah liar, membuatnya meringis kesakitan.

"Ada apa ya?" suara khas yang akhir akhir ini jarang sekali terdengar olehku. Suara yang kerap kali membuat sekujur tubuhku merinding dan kaku. Dengan susah payah kuangkat kepalaku menghadap asal suara.

Sekali lagi penampakan tersebut membuat sekujur tubuhku bergetar hebat. Namun kali ini penampakan betina tidak ikut bersamanya.

Dia menatapku lekat. Mata hitamnya menyorotku dengan pandangan yang selalu kuinginkan. Kedua sudut bibir yang terangkat membuatnya semakin terlihat sempurna. Cobaan macam apa lagi ini Tuhan?

Seketika kupindah posisiku ke sisi sebelah pintu yang tertutup. Kini posisi lelaki itu berada tepat di belakangku, hanya saja terhalang oleh pintu.

"Tuhan tolong rekatkan lem ke jantungku, aku merasa jantungku akan lepas" ujarku sembari menyandar lemas dan tangan terus memegang dada.

Dan bodohnya diriku baru menyadari jika sebuah amplop yang tersisa itu adalah milik Engga. Kalian ingat kan Engga pernah mengirim karyanya ke majalah sekolah?

Getaran dari pintu yang kujadikan sandaran mengalir ke punggungku. Membuatku sedikit tersontak. Pikiranku terus berkeliaran. Jantungku semakin berdegup kencang. Aku merasakan sandaran dan samar suara Engga di balik pintu.

"Tuhan tolong hilangkan pembatas ini. Kumohon" batinku yang terus meronta ronta.

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang