28 - Fighting

200 27 0
                                    

Suara adzan subuh merambat masuk di gendang telingaku. Kubuka mataku secara perlahan. Kulihat jam dinding yang menggantung tepat di sebelah pintu.

Sebelum aku membuka pintu kamar kuraih handphone yang tergeletak di atas meja. Beberapa chat masuk yang belum sempat kulihat kemarin. Saat ku scroll layar handphone kutemui sebuah chat bernama Randy di paling bawah.

Redita : Hehe sipp

Send. Aku berharap setelah ini Engga juga membalas chatku, supaya komunikasi ini terus berlanjut.

***

Drett..
Suara ponsel yang terdengar bergetar saat aku sedang sarapan sebelum berangkat sekolah. Namun kuabaikan hal itu, dan kulanjutkan menyuap nasi yang berada di atas piring berwarna putih polos itu.

Randy : Iyaa

Engga memang tidak pernah membiarkan chatku hanya terbaca begitu saja. Ia selalu membalasnya. Walaupun hanya sekedar mengiyakan.

Redita : Belum berangkat?

Randy : Belum

Redita : Biasanya berangkat jam berapa?

Randy : Setengah 7

Redita : Siang banget🙄

Randy : Emang biasanya jam segitu

Padahal saat itu aku pernah melihat Engga tiba di sekolah tepat pukul 6 pagi. Tidak selang jauh denganku. Saat itu ketika kelasku pindah karena direnovasi, aku sengaja lewat belakang kelasnya untuk menuju kelasku. Karena Engga duduk di paling pinggir, dekat dengan jendela sehingga bisa kulihat dengan jelas. Di dalam kelas ia hanya sendiri, melipat jaket yang kala itu dipakainya.

Redita : Gak takut telat?

Tanyaku dengan mengirim balasan saat sudah sampai di sekolah.

Randy : Enggak santai😅

Redita : Aku boleh ngomong sesuatu?

Randy : Apa?

Redita : Tapi jangan marah ya🙄

Randy : Iyaa

Redita : Pantes kamu agak gendut. Orangnya santaian gitu😶

Kataku berbicara jujur.

Randy : Lahh biarin😪

Redita : Hehe bercanda kok

Randy : Iyaa😪

Redita : Gak marah kan?

Send. Tak lama setelah itu suara bel masuk berbunyi. Dengan segera aku mengantongi ponselku.

***

Hari ini hari terakhir masuk di minggu ini. Biasanya hari sabtu adalah hari yang bahagia, karena besok libur. Namun beda halnya dengan sabtu ini. Sabtu ini menjadi hari yang horror.

Suara ricuh meyelimuti seluruh penghuni kelas. Tak selang lama datang seorang perempuan paruh baya yang membawa lembaran kertas dan membagikannya kepada setiap siswa.

"Gue tu belum siap tau buat UTS" cetus Lily saat sang wanita paruh baya itu sudah keluar dari dalam kelas. Tak lama setelah itu Yuli yang mendengar juga membalikkan badan ikutan berbicara.

"Sebelum UTS kita ke cafe biasa yuk?" ajak Yuli yang tidak memikirkan UTS sama sekali. Dan sepertinya Lily terhasut oleh perkataan Yuli. Mau tak mau aku harus mengikuti mereka, kalau tidak aku bisa habis dilalap oleh mereka.

"Lo pesen apa Ta?" tanya Lily saat kita sampai di Cafe tempat biasa kita meet up. Namun belum sempat kujawab, Lily sudah memesankan sebuah menu yang menjadi favoritku itu. Aku yang menyaksikannya hanya tersenyum menggeleng.

Sembari menunggu pesanan. Kuambil ponsel yang sejak pagi tadi belum sempat kupegang.

Randy : Enggak kok enggak😪

Aku senyum senyum sendiri membaca chat Engga. Rasanya ada sinyal positif yang menyuruhku untuk terus berjuang.

Redita : Udah makan?

Randy : Belum

"Taa mau dikacangin terus tu makanan" kata Lily dengan muka sedikit menyindir karena melihatku sibuk dengan ponselku hingga tidak sadar jika pesanan sudah datang. Yuli tertawa menyaksikan aku yang tercengir malu karena teguran Lily.

Beberapa menit setelah selesai menghabiskan makanku, aku mengirim pesan balasan untuk Engga.

Redita : Kok belum makan?

Randy : Masih bimbel

Rasanya aku ingin sekali membelikannya makanan dan mengantarkan ke tempat ia bimbel. Namun aku tak berani mengatakan itu semua ke Lily karena ia mengendarai motor dengan sangat laju.

Redita : Ohh.. Emang sehari makan berapa kali?

Tanyaku berusaha mencairkan suasana.

Randy : 12 kali😪

Redita : Ngabisin nasi aja😅

Randy : Biarin

Redita : Ntar gendut lo🙄

"Udah sampai neng, ongkosnya?" suara melengking yang terdengar bersamaan dengan motor yang aku tumpangi berhenti. Cewek itu membuka helm yang dipakainya sembari menyodorkan tangan kanannya.

"Makasih bang!" jawabku melucu sembari menepukkan tangan kananku ke atas tangan Lily. Beberapa menit kemudian aku menoleh dan melambaikan tangan padanya. Tak kunjung lama ia mengendari motornya yang sebelumnya sempat membalas lambaianku.

Layaknya anak kecil
Hati ini sulit dipaksa
Beberapa kali kubilang
Jangan rindu
Tapi ia terus berseru
Dan sulit diberi tau

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang