33 - La Tahzan

141 21 0
                                    

Suara ayam jantan berkokok saling bersahut sahutan. Bagaikan kontes kecakapan yang paling unggul. Terdengar salah satu yang yang berkokok mencapai oktaf tertinggi hingga menusuk di telinga. Seketika kubuka mata dan kuangkat tubuhku yang lemas menuruni kasur.

Seperti hari biasa. Aku bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Guyuran air wudhu yang menghantam wajahku terasa begitu dingin hingga rasa kantuk seketika hanyut bersama air.

Drett drettt...
Kulihat ponselku sedikit bergeser posisi akibat getar yang ditimbulkan olehnya. Setelah melipat mukena segera kuraih ponselku.

Ical : Taa

Satu chat dari Ical. Ia hanya memanggil namaku tidak tau apa tujuannya. Tidak seperti biasanya, ini kali pertama ia chat sepagi ini. Apa ada sesuatu yang penting, batinku.

Redita : Apa?

Awalnya aku ingin meletakkan ponselku kembali, namun kuurungkan niatku setelah satu notif chat terlihat di layar kunci.

Ical : Neneknya Engga meninggal

"Innalillahi" ujarku spontan. Nafasku sejenak tertahan setelah melihat satu chat dari Ical. Pikiranku mengarah kepada Engga.

Redita : Kapan?

Beberapa menit Ical membalas.

Ical : Tadi sebelum subuh

Cobaan yang menimpa Engga seolah datang bertubi tubi. Tepat satu minggu Engga ditinggal oleh 2 orang keluarganya. Itu semua waktu yang sangat singkat. Apalagi disaat musim ulangan seperti ini. Ini hal yang berat buat Engga.

Terpukul? Mungkin saja itu yang dialami Engga saat ini. Apalagi kedua orang tua Engga tidak bersamanya. Mungkin semua rasa sedih, kehilangan, terpukul itu semua ia pendam sendiri. Aku tau mungkin Engga orang yang sangat kuat. Tapi sekuat kuatnya batu pasti suatu saat juga bakal rapuh.

Perasaan gelisah terus menyelimutiku. Pikiranku seolah tentang Engga dan Engga. Rasanya aku ingin sang mentari segera terbit supaya aku bisa segera ke sekolah, sekedar melihat bagaimana kondisi Engga.

***

"Hoee ngelamun aja" bentak Lily sembari menggedor mejaku. Ia tiba tiba muncul di depanku yang tak kutahu kapan ia datang.

"Mikirin apa sii?" sahut Yuli yang duduk dikursi depanku sembari meletakkan tasnya.

"Nenek Engga meninggal" ujarku lirih. Mataku berkaca, semua air mata sudah menunggu di pelupuk mata. Seolah aku merasakan apa yang Engga rasakan. Aku membayangkan jika berada diposisi Engga. Disaat harus serius belajar untuk ulangan tetapi mendapat kabar duka seperti ini.

Apalagi Ical pernah berkata padaku. Sejak kecil Engga tinggal bersama neneknya. Neneknya lah yang merawat Engga. Pasti Engga sudah menganggap neneknya seperti kedua orang tuanya. Sekarang ia harus ditinggal sosok wanita yang menjadi tameng pelindungnya selama ini.

"Hei Ta jangan nangis" Lily memegang pundakku.  Mataku semakin jelas berkaca kaca. "Lo udah lihat Engga?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Mungkin dia gak masuk" jawabku dengan sangat lemah.

"Dia pasti masuk" jawab Lily yakin. Namun rasanya sulit mempercayai ucapan Lily. Ini kali terakhir Engga melihat neneknya. Mungkin saja Engga akan absen hari ini, pikirku.

Belum sempat aku menanggapi ucapan Lily, silih berganti siswa memasuki kelas. Beberapa menit kelas sudah ramai. Kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan ini dan membenarkan posisi dudukku, Lily dan Yuli juga demikian.

***

"Taaa taaa" panggil Lily dengan menggoyangkan tanganku.

"Engga" kataku spontan. Tanpa sengaja aku berpapasan dengan Engga di lorong (jalan yang menjadi perbatasan antar kelas) ketika hendak mengantar Lily ke kantin. Dengan sangat lemas ia berjalan menuruni anak tangga. Wajahnya terlihat sangat sayu, seperti kurang tidur. Rambutnya tidak tertata rapi. Tiba tiba matanya menjadi mata panda. Ia berjalan menunduk tanpa menatap sekeliling.

"Bener kan kata gue Engga masuk" cetus Lily tiba tiba. Aku hanya mengangguk. Ini benar benar pilihan yang sulit. Ia harus memilih antara neneknya dan sekolahnya. Jika ia memilih sekolahnya, ia harus mengorbankan pemakaman neneknya. Begitupun sebaliknya.

Ia tidak mungkin bisa absen hari ini, pasalnya ia harus mengikuti ulangan. Apalagi ia sudah kelas 12, terbilang pelajar tingkat akhir. Ini semua juga demi masa depan Engga. Entah dia konsen atau tidak mengerjakan ulangan tadi, tapi apapun itu dia benar benar orang yang kuat.

"Engga, La Tahzan Innallaha Ma'ana" batinku. Mataku terus memperhatikan langkah Engga yang mulai menjauh. Kalian jangan berpikir jika aku bisa berbahasa arab. Kata kata itu sering kudengar dari Agas. Ia selalu berkata demikian jika aku sedih. Jadi aku berpikir akan mengucap hal yang sama ketika Engga sedih.

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang