31 - Karma atau Kurma?

163 25 0
                                    

"Apa?"tanyaku sembari mengangkat bantal yang akan kugunakan untuk bersandar. Tanganku masih mengucek mata yang baru saja kubuka. Setelah itu kubenarkan rambut yang masih acak acakan.

"Bangun kebo udah pagi" ujarnya setelah aku menghadapkan layar ponsel ke wajahku. Mendengar ucapannya aku menyeringai kebingungan. Pasalnya aku tidak pernah bangun terlambat.

"Ini masih jam 3" gerutuku setelah melihat jam yang menggantung di dinding kamar itu. Sesekali tanganku masih menutup mulut yang menguap.

Beberapa menit lalu getar ponsel mengusik tidurku. Sempat kuabaikan dengan menutup telinga menggunakan bantal, namun suaranya berhasil membangunkanku.

"Wow sekarang kopi udah menjelma jadi gula" ujarnya dengan raut muka terkejut. Wajah Agas pun terlihat beda. Maklum, 3 tahun lebih kita tidak pernah melihat. Kulitnya lebih gelap sedikit, padahal dulu warna kulitnya tidak seperti itu. Mungkin kena karma kali, gegara sering ngatain orang.. Hehe..

"Kalo ngajakin VC gak bisa nanti?" sedikit kunaikkan nada bicaraku. "Ini tu masih malem!"

"Masak iya?" jeda. "Tapi kok mataharinya udah ada di depan gue" gombalnya dengan muka yang berpura pura kebingungan. Aku hanya diam, sesaat kemudian kutempelkan telapak tanganku ke pelipis, sekedar menjadi penyangga kepalaku yang terasa berat karena mengantuk.

Di belakang Agas kulihat ada ring basket mini yang tergantung di dinding kamarnya. Tepatnya sekitar 3 meter dari tempat ia duduk. Tidak jauh dari itu terlihat almari berkaca transparan yang isinya jejeran piala dari berbagai bentuk dan ukuran.

Sejak duduk di bangku SMP Agas memang sangat menyukai olahraga yang satu ini. Bahkan ia mendapat julukan 'master of basketball'. Cailah udah kaya atlet profesional aja, hehe. Maksudnya bukan begitu, itu hanya sebuah perumpaan karena setiap kali pertandingan Agas lah yang banyak menorehkan prestasi.

Dulu, seusai pulang sekolah aku sering menemani ia latihan basket. Sekedar menjadi penunggu botol minumnya atau membawakan tas sekolahnya.

"Lo kok sekarang jadi gendut si?" tanyanya setelah memperhatikanku yang diam. Aku sedikit tersinggung, pasalnya badanku kurus. BB ku saja tidak memenuhi standar jika dibanding dengan tinggiku. Hanya pipiku bertambah sedikit chubby.

"Trus kamu kok jadi item?" tanyaku memutarbalikkan keadaan. Skak matt. Kurasa ia akan menyesal karena berani mengejekku.. Haha..

"Ini tu menyesuaikan sama lingkungan" jawabnya santai. Emang bunglon apa warna kulitnya berubah ubah sesuai lingkungan, batinku.

"Pasti kena karma" kataku membalas mengejek. Rasanya kenangan yang dulu terkubur sekarang muncul kembali. Kebencianku pada Agas pun seolah sirna.

"Iyaa ntar kita ke Arab buat beli kurma" ceplosnya. Di saat seperti ini pun ia masih bisa bercanda. Sedikit greget emang, tapi bikin ketawa juga.

"Karma Gas bukan kurma" jawabku sedikit geram.

"Beda ya?" tanyanya berlagak polos. Aku hanya bergumam dan membuang nafas kasar.

"Lo suka kurma?" tanyanya yang tiba tiba membicarakan kurma. Aku mengangguk.

"Jangan makan kurma gak baik" cetusnya. Aku mengerutkan dahiku. Setahuku kurma itu bagus buat dimakan. Apalagi kalau sedang puasa, sangat dianjurkan.

"Emang iya?" tanyaku meyakinkan kebenarannya.

Agas mengangguk beberapa kali. "Lo itu udah manis, kalau ditambah makan yang manis ntar bisa overdosis. Emang lo mau kena diabetes?" katanya sembari berjalan pindah posisi menuju tempat tidur.

Hal sama yang aku lakukan. Hanya diam, menghela nafas panjang kemudian membuangnya. Sesaat kemudian kupindah posisi bantal yang semula kugunakan untuk bersandar menjadi di depan perutku.

"Taa" dia diam sejenak. "Anti jamilah jiddan" lanjutnya saat kita saling menatap wajah yang terpampang pada layar ponsel.

"Ha? Itu artinya apa?" dahiku mengernyit. Agas selalu saja mengucap kata yang tak kumengerti artinya. Yang kutahu ia berkata menggunakan bahasa arab, karena dulu Agas memang sering berkata demikian. Pasalnya Agas memang berasal dari keluarga yang religius.

Kulihat Agas menggeleng dengan muka yang dijelekkan seolah meledek. Alisnya pun ia naikkan sebelah. Aku merasa malas memperdebatkan, dan lebih memilih mengabaikan perkataannya.

"Udah aku mau tidur" kataku sembari menata bantal kembali ke tempatnya.

"Gak boleh" larangnya. " Temui tu buku, dia nungguin buat lo pengang" tambahnya kemudian. Aku diam, berusaha mencerna kata kata Agas. Kulihat buku buku yang tertata rapi di atas meja belajar. Seketika aku ingat, Agas secara tidak langsung menyuruhku untuk belajar. Apa dia tau jika hari ini aku UTS? Tapi darimana dia mengetahui itu?

"Yaudah aku tutup dulu, mau belajar" ujarku menanggapi perintahnya. Di layar ponsel kulihat Agas hanya tersenyum dengan menunjukkan ibu jarinya.

Entah mata mata apa yang dipasang Agas, seolah dia tau apa yang aku lakukan bahkan apa yang aku pikirkan sekalipun. Apapun itu yang jelas kehadirannya mengalirkan energi positif untukku.

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang