"Udah dong Ta, mau sampe kapan lo kaya gini" omelan yang sedikit mengusik lamunanku. Sebuah ocehan seperti luas balok pun juga aku dapatkan sebagai lauk sarapan. Mendengar itu semua nafsu makanku semakin bertambah buruk.
"Nyesel kan lo sekarang, coba aja lo dengerin gue buat nerima Agas" ketusnya. Sebuah hujatan yang terasa menyambarku. Entah kenapa kepergian Agas berdampak begitu dahsyat.
"Hush lo ngomong apaan sih Yul, lo liat Redita jadi tambah sedih kan" marah Lily kepada Yuli. Mendengar debatan mereka rasanya beban di kepalaku semakin terasa berat. Nyesel jadinya cerita semua ke mereka, batinku.
"Lo pasti Rindu Agas kan?" tanyanya. "Itu sih pasti" jawabnya sendiri sambil tersenyum picik. Entah kenapa Yuli menjadi antagonis seperti ini. Ya walaupun sejak awal aku tau jika Yuli memang mendukungku dengan Agas. Namun setidaknya dia menghormati perasaan temannya yang sedang sakit.
Hanya hening menyelimuti kantin yang ramai. Tidak ada yang berbicara diantara kami bertiga. Aku yang sibuk dengan lamunanku sendiri dan mereka berdua sibuk dengan makanan mereka.
"Ck Ta Ta, gue bingung sama lo. Kurang apa sih Agas?" dia diam sejenak. "Dia ganteng, baik, romantis, dan dia selalu berusaha buat lo tersenyum" ujar Yuli tanpa memperhatikanku.
"Untung rindu itu gak dosa, coba kalo dosa kan kasian malaikat Atid" sindirnya santai sembari menyuap makanannya. Refleks tanganku membanting sendok dan garpu yang sedari tadi kugunakan untuk memainkan makananku. Sontak mereka terkejut. Bukan hanya mereka seluruh penghuni kantin pun memasang mata ke arahku.
Astaga, aku merasa aku bukanlah aku. Entah sihir apa yang mengenaiku. Selain menjadi pendiam sekarang aku juga menjadi pemarah.
"Sabar Ta, malu dilihatin orang" tenang Lily sembari memegang punggung tangan kiriku. Sekuat tenaga aku berusaha mengontrol diriku. Menghirup hembuskan udara, untuk meredakan emosi yang memuncak. Mengingat jika Yuli bukan sahabatku, kupastikan tubuhnya sudah basah. Bodo amat dibilang jahat.
"Lo kasih kado apa?" tanyanya memecah suasana hening. Seketika aku membulatkan mata, menatap Lily dengan tatapan kebingungan. "Jangan bilang lo lupa?" tuduhnya yang memahami jawaban dari raut mukaku.
"Emang siapa yang ulang tahun?" tanyaku santai sembari meneguk es yang mulai cair.
Lily menggeleng tidak percaya. "Besok Engga ulang tahun" ketusnya.
"Uhuk uhuk.. Besok?" kagetku sembari menepuk dada karena tersedak. Lily hanya mengangguk kecil, sementara Yuli dia terlihat biasa saja. Itu anak memang moodnya berubah ubah. Seperti cuaca saja susah diprediksi.
"Kenapa kamu baru ngomong?" aku mulai panik. "Aku belum nyiapin apa apa. Gimana ini? Engga sukanya apa? Trus-
"Ta sans" katanya menenangkan aku yang heboh tidak jelas. Bagaimana bisa aku lupa dengan ulang tahun Engga yang sudah sejak lama kutandai bahkan kuingat melebihi anniv-ku sendiri. Astaga apa mungkin aku terserang efek penuaan dini?
"Tinggal beliin kue aja repot" Yuli menghadapkan pandangannya kepadaku. "Apa? Lo ultah juga gak di kasih apa apa kan sama dia? Ngucapin aja nggak kan?" katanya yang paham dengan ekspresi tak terimaku.
Kali ini aku tidak melawan semua ucapannya. Semua ucapannya benar benar meragukan pendirian yang bertahan pada ketidak jelasan. Apakah pernah Engga memberiku kejutan? Jangankan kejutan sebuah ucapan saja tidak pernah kudapatkan.
"Sebaiknya lo kasih kejutan aja ke rumahnya" jeda. "Bener kata Yuli lo cukup beli kue aja, waktunya juga udah mepet" saran Lily. Aku hanya mengangguk pasrah menyetujui usulannya. Karena sekarang, rasanya otakku tidak bisa diajak berpikir.
"Oiya lo ajak Rani juga, dia kan lumayan akrab sama Engga. Biar lo gak merasa canggung" lagi lagi aku hanya bisa mengangguk.
***
"Males" jawabku.
Di siang yang panas seperti ini rasanya bergerak saja enggan apalagi berpindah tempat. Kalau jaman sekarang menyebutnya mager. Terlebih suasana kelas sangat sepi bak sebuah kuburan. Tidak sedikit dari mereka memanfaatkan peluang jamkos untuk meninggalkan kelas. Ada yang menjadikan kantin sebagai tujuan utama, ngrumpi, gosip, TTP di depan kakak kelas, bahkan ada yang sekedar menghirup aroma toilet.
"Ish buruan Ta?" greget Lily sembari berjalan ke arahku, kemudian menarik tanganku dan membawa tubuhku ke ambang pintu.
"Lo sih lama banget, Engga udah lewat kan" gerutunya sembari melihat punggung orang yang berjalan menjauh. Tanpa bertanya aku pun sudah paham jika itu adalah Engga. Mulutku sedikit memonyong seperti membentuk huruf O.
"Gitu doang? Lo gak nyesel apa gimana gitu?" herannya. Aku hanya menggeleng, tidak paham dengan arah perkataannya. Melihatku yang demikian Lily pun ikut menggeleng sembari berdecak.
"Kak Engga" jeda. "Kak Engga" Lily berteriak dengan kegirangan. Membuat orang yang berada pada jarak 5 meter itu menampakkan wajahnya. Wajah yang sudah sangat lama tidak pernah kulihat. Dalam hitungan detik wajah kebingungan darinya menjelma menjadi sebuah senyuman. Senyuman khas yang sering kali membuat jatungku bertingkah abnormal.
"Gapapa kak, manggil doang" jelas Lily. Astaga bagaimana bisa aku mempunyai seorang teman bermuka tembok seperti ini. Namun bukan Engga namanya jika dia akan marah. Dia bahkan semakin menarik kedua sudut bibirnya. Membuat garis melengkung di bawah kumis tipisnya itu. Apalagi Engga termasuk golongan cowok bermata teduh. Sekali tatap melting abis.
"Serius kaya tadi nggak nyesel?" tanyanya meledek setelah sebuah anugerah Tuhan itu berganti menjadi punggung yang berjalan menjauh. Dengan mengulas senyum tipis aku menganguk sebagai jawaban pertanyaannya.
"Nah gitu senyum, jangan ditekuk terus itu muka" ujarnya dibuntuti suara tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia [END]
Teen FictionJika mendengar kata "Dia" siapa yang ada dipikiran kalian? Dia yang menjadi orang spesial dalam hidup kalian? Atau Dia yang selalu kalian benci? Atau justru Dia yang menjadi masa lalu kalian? Ini cerita Tentang Dia Yang kusuguhkan untuk kalian semua...