49 - Perpisahan

171 21 0
                                    

Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu. Tak kunjung kudengar ucapan dari Engga. Memang benar, mungkin tidak ada secuil rasa pun di hati Engga. Tidak ada rongga pun di hatinya untukku tempati. Namun aku sadar, bukankah prinsip awal yang kugunakan sudah jelas? Bahwa rasa nyaman akan berujung pada kekecewaan. Walaupun sudah kupasang tameng untuk tidak terbawa perasaan, tapi rasanya antisipasi ini tetap membuahkan rasa sakit.

Disinilah aku, menyibukkan diri dengan segala aktivitas untuk melawan rasa kecewa yang menggerogoti. Sebuah novel bergenre romance, stoples snack dan sepasang earphone yang menyumbat telinga. Jika sebagian orang lebih memilih makan untuk membangkitkan mood mereka, kurasa aku salah satu dari mereka. Tidak peduli berat badanku akan bertambah. Toh, pura pura bahagia juga perlu banyak tenaga.

"Jahat banget, udah mati matian berjuang gak di hargai" gerutuku yang terus mengikuti alur novel yang kubaca. Tanganku tak ada henti hentinya memasukkan snack ke dalam mulut. Entah ini sudah kali keberapa stoples itu kuiisi ulang.

"Ya Allah nasibnya gitu amat" omelku sendiri yang terus menjadi.

"Astaga mau dicium?" kagetku dengan mata yang semakin konsen dengan buku yang kupegang. Tangan kananku masih berlaku sama, sebagai penghantar snack ke mulut. Namun entah kemana stoples snack itu berada, rasanya aku tidak memindahnya. Kugerakkan tanganku meraba seluruh sofa tanpa mengubah pandanganku. Tanpa sengaja tanganku menyentuh sesuatu.

Karena merasa ada yang ganjil kualihkan pandanganku. "Kamu?" kejutku. Mulutku masih terbuka sedikit karena terkejut dan tanganku masih memegang punggung tangan kirinya. Huh, kurasa ekspresi ini adalah ekspresi yang sangat buruk.

Dia menaikkan kedua alisnya. Tangannya masih memegang snack yang sedari tadi kucari, sesekali dia memasukkan snack itu ke mulutnya.

"Dasar pencuri" ujarku sembari merebut snack itu dari tangannya. Dia mengangkat ikhlas kedua sudut bibirnya. Sungguh benar benar manis. Jika aku bukan orang yang kuat, mungkin sudah pingsan melihatnya. Melihat ekspresiku yang demikian dia mulai tertawa kecil dan mengacak acak pundak kepalaku.

"Sejak kapan kamu disini?" tanyaku memilih tidak mempermasalahkan ulahnya yang mengobrak abrik rambutku.

"Tadi" singkatnya. "Sejak lo ngomel ngomel gak jelas" tambahnya sembari merebut novel yang kupegang. Jika sejak tadi dia disini, berarti dia mendengar semua yang aku katakan. Sungguh ini benar benar memalukan.

"Oiyaa?" tanyaku dengan nada tidak percaya. "Emang gimana tadi aku ngomelnya?" kulontarkan sebuah pertanyaan pengetesan.

Dia mengalihkan pandangannya dari novel yang berhasil ia rebut dariku. Alisnya ia naikkan sebelah.

"Jahat banget, udah mati matian berjuang gak di hargai" ujarnya dengan tatapan menyorot mataku. Astaga, aku merasa dia seperti menyindirku. Agas benar benar mengatakannya dari hati. Menangkap raut wajahku yang merasa tersindir Agas semakin menertawaiku. Bodoh Redita, bodoh.

"Kok aku gak denger kamu bunyiin bel?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Mau jadi penyusup ya?" tuduhku dengan tatapan mendesak sembari mengarahkan jari telunjukku ke wajahnya.

Dia menggelengkan kepala dengan bibir yang melebar. "Tadi mama lo yang bukain" ujarnya menjelaskan.

"Trus ngapain kamu kesini?" tanyaku sewot.

"Emang gak boleh?" tanyanya tanpa memandangku.

"Nggak" singkatku masih sewot.

"Yaudah gue balik" ujarnya tanpa rasa berdosa yang tidak takut dengan ancamanku.

"Ih Agasss" teriakku sembari menarik kemeja Agas yang ia biarkan terbuka, membuat tubuhnya terjatuh ke atas sofa. Dengan cekatan tangannya itu membenahkan rambut yang sempat berantakan. Entah kenapa aku jadi bersikap manja seperti ini dihapadan Agas. Mungkin karena rasa nyaman sebagai seorang sahabat. Atau apapun alasannya aku tidak mengerti.

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang