39 - Luka Hati Luka Diri

159 20 0
                                    

Alunan jarum jam dengan ketukan yang konstan terdengar begitu berirama. Jarum yang berkeliling mengitari daerah jam menunjukkan pukul 23:00. Namun kedua indra penglihatku kini masih enggan memejam.

Sesekali kueratkan selimutku karena cuaca yang dingin. Terbilang ini sudah memasuki pertengahan bulan Januari, yang katanya Januari adalah akronim dari hujan sehari hari. Dan memang benar, setiap hari aku harus pulang dengan pakaian basah dan setiap malam harus mengenakan pakaian hangat untuk menangkal cuaca dingin yang disebabkan oleh hujan.

Masih dengan aktivitas yang sama, sulit tidur dan berulang kali melempar tissu. Kulihat tempat sampah di sebelahku sudah hampir terisi penuh. Berkali-kali bersin bersahut sahutan, tanpa memberiku kesempatan dalam kondisi normal.

"Hacchiuuu hachiuuu" suara yang keluar mendahuluiku yang ingin berbicara.

"Lo sakit?" tanyanya merespon suara bersinku, yang sebelumnya ia sempat menyapaku.

"Enggak" singkatku. "Hachiuu"

Kulihat jam yang tertera di tengah atas ponselku. Menunjukkan pukul 23.15 . Entah apa yang akan dilakukan orang yang beberapa hari lalu mengutarakan perasaannya padaku ini hingga meneleponku di jam istirahat seperti ini.

Suara bersinku terus bermunculan. Terkadang diselingi suara batuk. Hingga aku yang ingin berbicara pun rasanya sulit. Disisi lain suara tawa terus muncul. Seolah sedang menertawaiku yang dalam keadaan tersiksa.

"Lo lucu kalo bersin kaya gitu" timpalnya masih diselingi ketawa.

"Ha ha ha" kataku nyinyir menirukan tawanya. Setelah itu diikuti batuk karena tersedak ucapanku sendiri. Membuat Agas semakin menertawaiku. Kali ini batukku semakin menjadi. Hingga aku meletakkan ponselku dan beranjak mengambil segelas air.

"Kalo batuk gausah di tahan" ujarnya setelah mendengar kembali suaraku. "Keluarin aja deket HP lo, biar semua ngalir ke gue. Lo kurang profesional dalam hal batuk apalagi bersin" timpalnya masih diselingi ketawa.

Lagi lagi sifat konyolnya itu muncul disaat tak terduga. Dan tidak dapat dipungkiri jika aku tertawa mendengarnya. Tetapi lagi lagi aku tersedak hingga kembali memunculkan batuk.

"Kamu udah gak marah?" tanyaku setelah meneguk segelas air. Karena flu yang melanda, aku jadi lupa jika terakhir kali berbicara dengan Agas ia menutup teleponnya begitu saja. Dan sekarang ia kembali dengan Agas yang biasanya seolah tidak terjadi apa apa.

Agas tertawa. " Udah lo tiduran. Angin malam gak baik" ujarnya.

"Gas?" panggilku, ia hanya berdehem. "Aku pengen kamu jangan berubah" kataku. Entah apa yang ada dibenakku hingga berkata demikian. Sepertinya tidak ada yang aku pikirkan. Hanya saja setiap kali Agas bicara, aku merasa ada semangat yang ia bawa. Dan anehnya, aku menyukai itu.

Agas membuang napas ketawa. "Gue gak bakal berubah, gue janji" ujarnya tanpa ragu. Mendengar Agas demikian bibirku melebar. Entah kenapa semua beban rasanya jatuh berguguran. "Udah lo tidur, gue tutup dulu teleponnya" timpalnya.

"Taa?" panggilnya yang membuatku mengurungkan niat mengakhiri pembicaraan.

"Iyaa?"

Agas diam sejenak. "GWS" katanya kemudian. Sebelumnya ia seperti bergumam lirih mengucap 'Gue sayang lo' yang samar samar masih bisa kudengar. Semoga saja telingaku memang masih berfungsi dengan baik, batinku.

***

Ibarat mawar di gurun pasir
Semakin layu kekurangan air
Tiada hujan yang datang menyapa
Atau sekedar bertegur sapa

Kuinjakkan kaki ke tanah sekolah. Bersama itu juga kenangan yang terbangun disana mulai terngiang. Akan sulit menghapus segala kisah yang telah terbangun. Setiap jengkal langkah kakiku, sejengkal kenangan kembali melilit.

Dulu sekolah yang menjadi semangatku, kini semua bertolak belakang. Bak sebuah penjara kesedihan yang terus mengurungku dalam kenangan dan kenangan.

"Ehh" celetukku saat tanganku ditarik paksa menuju sebuah kursi bawah pohon tidak jauh dari kelasku. Seketika ku lingkarkan tangan kiriku untuk mengusap pergelangan tangan yang terasa sedikit sakit.

Wanita yang menjadi pelaku dari semua ini, kini berdiri mematung di depanku. Menatapku dengan sorot mata simpatik.

"Kenapa?" tanyaku yang masih memengang pergelangan tanganku yang terasa sakit. Ia diam tanpa berkata apa apa. Tak lama setelah itu ia duduk di sebelahku.

"Lo lihat" celetuknya setelah mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sesuatu padaku. Raut wajahku berubah setelah melihat sebuah foto yang ditunjukkan Lia kepadaku. Dengan cepat kualihakan pandanganku membelakangi Lia. Spontan telapak tanganku mengusap air yang mengalir di pipiku.

"Taa?" panggilnya sembari menarik lembut daguku menghadap wajahnya.

"Aku gapapa" ujarku dengan membuat garis lebar di bibirku, menyembunyikan perihnya ribuan pisau yang menusuk.

***

Hai readers😊

Jangan lupa kasih vote ya🙏

Jangan lupa juga tinggalkan kritik dan saran!

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang