41 - Rumahmu

141 17 0
                                    

Suara nyaring getar ponsel yang mulai bergerak berjelajah di atas meja. Suaranya masih terdengar sangat jelas di telinga yang sudah tertutup dengan sebuah bantal dan selapis selimut. Sebuah benda berbentuk persegi panjang itu akhir akhir ini jarang sekali terjamah olehku. Terlebih aku sudah menghapus contact seseorang yang sangat spesial dari dalamnya. Membuatku semakin enggan menjamahnya.

Tepatnya 2 hari yang lalu, setelah peristiwa penunjukan foto bersejarah double date antara 4 orang insan yang telah menewaskan sebuah hati dan sejuta harapan yang ada didalamnya. Kedua sahabatku, Lily dan Yuli memaksaku untuk menghapus atau bahkan mem-block contact seseorang yang menjadi pelopor dalam peristiwa bersejarah itu.

Bukannya tidak mau berjuang, namun sepertinya mengalah lebih baik. Berkali kali kedua sahabatku menuturkan berhenti berhenti dan menyerah. Berkali kali pula aku melawan mereka. Dalam hatiku terus berkata berjuang berjuang dan pantang menyerah. Namun sekarang....

Sekarang
Aku mencoba menuruti sebuah logika
Untuk kesekian kali aku membangkang
Memilih hati, hati dan hati
Namun apa nyatanya
Keputusannya begitu menyakiti

"Apa sii?" tanyaku sedikit kasar karena kewalahan mendengar suara getar yang ditumbulkan dari benda berbentuk persegi panjang itu. Sebuah VC dari Agas Ardian masuk beberapa menit silam. Entah kenapa selalu dia yang menjadi pelampiasanku. Tidak adil memang karena dia yang selalu menjadi sasaran kemarahanku. Namun aku juga tidak sepenuhnya salah, siapa suruh dia selalu datang disaat moodku sedang ancur.

"Tumben udah pagi masih ngebo?" tanyanya santai sembari mengacak acak rambutnya yang terlihat basah.

"Semalem ngerjain PR sampe larut" ujarku sembari menutup mulutku yang berkali kali masih menguap. Semalam aku memang tidur sangat larut, namun tidak untuk mengerjakan tugas melainkan memikirkan seseorang yang bernama Engga. Berkali kali aku membaca ulang sebuah chat yang pernah kukirim untuk Engga, tidak jarang pula aku memandangi foto Engga untuk melepas Rindu.

Agas manggut manggut seolah paham dengan keadaanku. "Lo cocok pake piyama warna pink" ujarnya setelah beberapa saat diam karena menungguku membuka mata sempurna dan membenarkan posisi dudukku.

"Setahuku kamu nggak buta warna lho Gas" ujarku kebingungan sembari memperhatikan piyama berwarna biru muda yang sedang kukenakan.

Agas menaikkan sudut bibirnya "Bener ya kata orang cinta itu buat kita buta" ujarnya santai. Lelucon macam apa ini. Di pagi pagi seperti ini aku harus menerima asupan sarapan sebuah gombalan garing darinya. Entah Agas adalah manusia golongan apa. Namun kehadirannya selalu memercikkan tawa dibibirku.

Aku memijat keras kedua pelipisku menahan sebuah kekesalan kepada Agas. Aku berusaha tersenyum meskipun terpaksa.

"Gombalan kamu kali ini gagal" ujarku sembari menjulurkan lidahku mengejek Agas. Sebelum Agas membalas ucapanku, aku buru buru menutup VC nya. Dan hal kecil seperti ini kerap kali membuatku tertawa.

"Mungkin Tuhan mengirim kamu sebagai malaikat yang menjadi obatku Agas" ujarku sembari berjalan menuju kamar mandi.

***

"Aduh gue bener bener lupa gak bawa file nya Ta" ujar Lily panik sembari mengacak acak isi dalam tasnya. "Mana tugasnya besok dikumpulin, gak mungkin kalo kita lanjutin besok" tambahnya.

Aku mendesah sembari menggeleng "Kebiasaan, udah sekarang kita ambil" kataku menyarankan. Lily pun menganggukkan kepalanya berkali kali.

"Aldi Aldi" ujar Lily sembari melambaikan tangannya ke arah Aldi yang akan mengandarai sepeda motor. Dengan cekatan Lily mengambil alih posisi Aldi untuk mengendarai motor dan menyuruhku lekas membonceng.

"Ntar gue balikin Di lo tunggu aja di sekolah" ujar Lily belum sempat disahut oleh Aldi karena Lily mengendarai sepeda motor dengan sangat Laju. Karena motorku dan Lily belum bisa keluar dari parkiran karena terhalang motor motor yang lain. Alhasil Lily harus meminjam paksa motor kepala suku kami.

"Kok kita lewat sini Li?" tanyaku ke Lily yang merasa kebingungan karena Lily membelokkan motornya memasuki sebuah jalan yang tidak pernah kulalui sebelumnya.

"Lewat sini aja lebih dekat!" ujarnya tanpa basa basi. Lily membelokkan motornya dengan sangat lihai mengikuti alur jalan yang berkelok kelok. Entah jalan apa yang kita tempuh saat ini, rasanya belum pernah kulewati sebelumnya. Tapi.....

"Lii berhenti" ujarku kepada Lily. "Berhenti Li" tambahku sembari menepuk pundak Lily. Seketika aku sedikit terdorong ke depan karena Lily menekan remnya mendadak.

"Apa sih ta?" gerutunya.

"Ini bukannya daerah rumah Engga?" tanyaku kepada Lily. Mata Lily menyapu sekeliling. Aku dan Lily tepat berhenti di sebuah perempatan. Dan seperti yang dibilang Ical rumah Engga berada di depan sebuah sekolah dasar dan lokasinya tidak jauh dari tempatku saat ini berhenti.

Lily menganggukkan kepalanya. Dengan cepat dia mengendarai kembali motornya berbelok mengambil arah ke Timur. Padahal arah rumah Lily ke Utara.

"Li ki-

"Udah lo diem aja" ujarnya memotong ucapanku. Tidak selang lama Lily memberhentikan motornya.

"Lo balikan badan lo, lihat ke belakang" ujarnya setelah mematikan mesin motornya. Karena posisiku yang membonceng jadi aku tidak bisa melihat apapun yang berada di kanan jalan. Namun sebelum memutar kepalaku mataku sempat membaca sebuah tulisan 'Sekolah Dasar' yang tertempel pada papan nama dengan background keramik berwarna coklat.

"Kalo info yang dikasih Ical bener, rumah Engga tepat berada di belakang lo sekarang" ujar Lily menambahkan.

Setelah kutolehkan kepalaku, kulihat sebuah rumah berwarna orange. Disisi depan terlihat sebuah pagar besi sebagai pengaman berwarna biru muda dengan perpaduan warna pink. Rumahnya begitu sepi, layaknya rumah tak berpenghuni. Maklum saja Engga hanya tinggal berdua dengan pamannya. Jadi rumahnya terlihat sedikit tidak terurus.

Namun aku yakin jika itu rumah Engga, pasalnya ada motor yang sering Engga kendarai ke sekolah terparkir di garasi samping rumah itu. Mataku menyapu seluruh bagian rumah Engga. Rumah yang sangat megah. Namun Engga tidak pernah menunjukkan kekayaannya. Ia bahkan berpenampilan begitu sederhana. Dan sekarang aku mulai percaya akan adanya pepatah yang mengatakan "Don't judge a book by it's cover".

"Udah selesai lihatinnya?" tanya Lily yang membubarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk menyahutnya. Tanpa berpikir panjang Lily segera melajukan motornya.

Tolong sampaikan kepada pemilikmu
Aku sangat amat merindukannya
Percayalah
Aku memang menjauhinya
Tapi tidak untuk melupakannya

"Aku yakin, suatu saat aku pasti akan tinggal bersamamu, di rumahmu" ujarku sembari menatap lekat rumah Engga yang mulai tidak terlihat.

***

Hai readers setia Tentang Dia😊

Mohon maaf atas segala typo ya, karena author juga manusia biasa, tempatnya salah. Hehehe

Jangan lupa kasih vote ya🙏

Jika berkenan tinggalkan kritik dan saran!

Tentang Dia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang