-OVERDOSE-
"No matter who you're, I'll love and trust you for a long time."[ Genre : Romance, Mystery, Horror ]
🌛🌜
Park Jimin meninggal dunia hari ini. Atau mungkin kemarin? Entahlah, aku tidak terlalu yakin; kenapa dan kapan dia meninggal dunia, sebenarnya. Aku hanya berpikir; mungkin Jimin meninggal karena tidak bisa bernapas. Pemakaman yang telah menewaskannya. Begitu, bukan?
Namun, ternyata hasil autopsi berkata lain. Jimin meninggal bukan karena tidak bisa bernapas lantaran pemakaman, tetapi karena ovedosis obat ibuprofen yang selalu aku berikan, setiap kali ia mengeluh sakit kepala.
Saat itu dokter mengatakan bahwa Jimin ditemukan dengan keadaan yang sangat parah; semua tubuhnya kaku karena tidak ada yang membantunya saat dia kejang, tekanan darahnya mendadak rendah, dan kepalanya berdarah karena ia benturkan berulang kali lantaran rasa sakit yang menyerang begitu hebat. Bahkan, ada pendarahan di dalam tubuhnya, serta buih yang terus keluar dari mulutnya selama beberapa menit.
Pemuda yang masih menyandang status sebagai kakak satu-satunya yang aku punya itu, akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat memalukan.
Jimin itu seorang pecundang; seorang kakak yang bodoh; lelaki yang kesepian.
Bagaimana bisa ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, tanpa memberiku uang barang sepeser pun untuk biaya pemakamannya? Ia bahkan meninggalkanku sendirian di tengah situasi yang semakin gila ini. Benar-benar saudara yang tidak tahu diri.
Sepekan setelah Jimin dimakamkan, hidupku berantakan. Keluarga yang kupunya hanya Jimin. Namun, pemuda berusia dua puluh empat tahun itu malah mengakhiri hidupnya dengan cara yang konyol.
Mengapa, konyol? Karena bunuh diri bukan hanya sekadar mengakhiri hidup saja, bukan pula mengakhiri masalah. Bunuh diri adalah cara tercepat kabur dari sebuah masalah. Konyol, bukan?
Masalah sepelik apa yang tengah Jimin hadapi saat itu, sampai ia bisa merenggut nyawanya sendiri? Aku bahkan tidak tahu.
Lama berada di dalam lingkaran keganjilan yang Jimin tinggalkan selepas ia pergi untuk menemui Tuhan. Situasi ini semakin menenggelamkanku. Aku malah semakin terperosok ke dalam kesedihan dan kedukaan yang hampir mendekati keputusasaan. Rasa bersalah mengenai; aku yang tidak tahu apapun tentang masalah yang telah merenggut nyawa Jimin, semakin membuatku menyalahkan diri sendiri.
Aku duduk di sudut kamar selama berhari-hari dengan ditemani keheningan mutlak dan mengabaikan ucapan semua orang yang berusaha menolongku. Ya, hanya ucapan yang mereka berikan. Aku bahkan merasa, bahwa aku telah kehilangan kontak dengan Tuhan dan keseluruhan realitasku. Perasaan ini semakin membuatku berpikir seperti: "Ah..., jadi seperti ini yang Jimin rasakan selama berbulan-bulan yang lalu."
Sampai akhirnya satu hantaman di kepalaku membuatku sadar akan gilanya hidup ini. Bernapas semakin sulit, saat sesuatu tengah menyumpal batang tenggorokanku.
Kedua tanganku tiba-tiba bergerak sendiri untuk mengambil botol yang berisi pil tidur. Mengeluarkan isinya sampai permukaan tanganku bahkan tidak cukup menampungnya. Ruangannya mendadak gelap dan pengap. Tanganku bahkan bergetar sampai membuat butir-butir itu berjatuhan ke atas lantai.
Namun kenyataannya, aku tidak memiliki cukup keberanian yang Jimin miliki seperti saat itu.
Dan tepat sesaat semua pil itu terjatuh, suara dentuman hebat merangsek rungu, ketika hawa musim dingin tengah menjilat habis permukaan kulitku. Pintu kamar terbuka lebar dan menampilkan presensi seseorang yang tak kalah berantakannya dariku. Kulitnya sangat pucat, bibirnya begitu kering, dan matanya begitu kecil.
Pemuda itu berjalan dengan sepatu yang masih terpasang, dan jaket lusuhnya masih menggantung di tubuhnya yang kurus. Rambutnya dicat berwarna putih-sama seperti salju yang menumpuk di atas kepalanya.
Kedua mata kami bersirobok. Aku bisa melihat ada genangan yang tertahankan di matanya. Ia terus berjalan terseok-seok ke arahku. Dan begitu sampai, pemuda itu lalu menjatuhkan kedua lututnya untuk membentur lantai.
Aku bergerak mundur, walaupun gerakanku ternyata sia-sia saja saat punggungku sudah menyentuh dinding. Ia mengangkat kedua tangannya dan lalu menarikku kedalam dekapannya yang sangat dingin.
Embusan napas yang dingin menyapa permukaan kulit pundakku. Sambil mengeratkan lagi pelukannya, pemuda itu kemudian berujar; "Jangan pergi ke tempat Jimin, tinggalah bersamaku."
Namun kenyataanya, ini bukanlah sebuah kisah manis dari seorang gadis yang nyaris tenggelam lalu diselamatkan oleh seorang pemuda dan kemudian mereka jatuh cinta satu sama lain, setelahnya. Ini bukan kisah seperti itu. Ini lebih pelik, di mana pertemuanku dengan pria sedingin salju ini kemudian membawaku ke dalam kehancuran yang sebenarnya.
Kehancuranku; saat aku tahu alasan Jimin mengakhiri hidupnya saat itu. []
YOU ARE READING
[M] 1. THE DEEPEST ETERNAL DREAM | ✓
Fanfiction[Completed] [Crime/Horror] "No matter who you're, I'll love and trust you for a long time." ©2018