Dulu Jimin selalu berpesan; jangan mudah percaya pada orang asing. Jangan memberikan setitik saja rasa kepercayaan pada mereka yang tak kau kenal dengan baik. Harga sebuah kepercayaan itu mahal. Harus dijunjung tinggi, dan jika kau memberikannya dengan mudah seperti kau menjualnya di toko kelontongan dengan bungkus yang cantik, nilai kepercayaan itu akan dengan mudah dipandang begitu rendah.
Jangan memberikannya dengan mudah, apalagi dengan orang asing.
Park Sora menyeret langkah mundur, walau tak sampai tiga langkah yang ia pacu, punggungnya telah lebih dulu membentur pintu ruang kerja milik Yoongi. Napasnya tercekat, jantungnya berirama tak wajar. Ada satu perasaan takut yang mendominasi dalam dirinya saat ini.
Katakan bahwa Sora saat ini sangat egois. Kalut, dalam perasaannya sendiri karena harus berdiri dengan kedua kakinya, tanpa mempunyai apa pun sebagai pegangan disaat ia benar-benar membutuhkan sebuah tumpuan.
Kematian Jimin begitu menyiksa. Jimin mati dan menyisakan banyak pertanyaan tentang kematiannya di dalam kepala adiknya. Luka milik Jimin bahkan tidak berakhir setelah ia memilih untuk mengakhiri hidupnya, ia pergi tanpa membawa lukanya—dan malah menyisakan luka itu untuk Sora. Untuk adiknya.
Yoongi menatapnya lelah, tetapi begitu gelap. Sabit hitamnya tak ia lepaskan dari kedua obsidian milik gadis yang ada di hadapannya. Ia terus berjalan, bahkan ketika Sora membentur pintu pun, Yoongi tak kunjung menghentikan aksinya. Sora butuh bukti, maka dengan segala yang saat ini ia punya, ia akan memberikannya saat ini juga.
"Yoongi—kau mau apa?" cicit gadis itu mengudara.
Pria itu tak mendengarnya. Rungunya seolah kebas, dengan perasaan marah yang luar biasa meletup-letup dalam dirinya.
"Kau perlu bukti, bukan?" tanyanya, setelah meletakan kedua tangannya menyadar pada dinding—tepat pada kedua sisi tubuh gadis yang ada di hadapannya.
Sora tak menjawabnya. Sorot pandangnya begitu kentara seolah bingung bercampur takut dengan apa yang akan Yoongi lakukan pada dirinya.
Yoongi sendiri sebenarnya tak mau. Ia tidak mau seperti ini. Sebagai pria dewasa, ia seharusnya bisa memaklumi dengan apa yang Sora rasakan saat ini. Gadis itu jelas bingung, ia takut, dan pada akhirnya kalut dengan perasaannya sendiri. Namun Yoongi tak suka. Ia benar-benar benci ketika seseorang memandang dirinya begitu rendah.
Semua hal yang ia lakukan tak jauh dari urusan pribadinya dan pekerjaanya. Keduanya saling berbenturan, dan membuat Yoongi juga bingung harus bersikap seperti apa selain seperti ini.
Apa yang akan Sora katakan, jika saat ini Yoongi bilang bahwa kekasihnya itu, tak lain adalah seseorang yang tengah ia curigai sebagai tersangka dari pembunuhan beruntun sejak lima tahun lalu, dengan mengikut sertakan dirinya sendiri sebagai anggota sekte, aliran sesat.
Apa ia akan percaya?
Atau, apa yang akan Sora katakan, bahwa sebenarnya Yoongi ini adalah seorang detektif yang tengah mengusung kasus kekasihnya, dengan catatakan kematian kakaknya itu sangat berpengaruh besar pada kasus yang sedang ia teliti. Seorang jurnalis yang memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri setelah menelan puluhan pil ibuprofen sampai overdosis, begitu mengetahui hal dibalik itu semua tanpa berniat membuka mulut dan memilih untuk mati.
Apa Sora akan percaya?
Tentu saja tidak. Yoongi tahu benar tentang arti dari sebuah kepercayaan. Dibanding dengan dirinya yang entah darimana muncul secara tiba-tiba dengan alibi bahwa ia akan memberitahukan perihal kematian Jimin pada adiknya itu, tidak akan diterima dengan mudah, jika dibandingkan dengan sang kekasih yang sudah menjalin hubungannya selama hampir lima tahun.
YOU ARE READING
[M] 1. THE DEEPEST ETERNAL DREAM | ✓
Fanfiction[Completed] [Crime/Horror] "No matter who you're, I'll love and trust you for a long time." ©2018