"Apa kamu bersedia menjadi tutor Andara selama satu tahun, Aldo?"
Cowok itu terkesiap. Senyuman di wajahnya pudar, tergantikan tatapan kaget seraya menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. "Dia, Bu?"
Mengerutkan kening, Bu Netta kembali menukas. "Kalian belum saling kenal?" tanya beliau sembari menatapku dan cowok beriris coklat terang itu bergantian.
Refleks, kami berdua mengangguk bersamaan. Detik berikutnya, melempar jawaban pada Bu Netta. "Tidak, Bu."
"Jadi begini Aldo, kamu kan sudah sering mendapatkan ranking satu separarel, bahkan kamu juga pernah menyabet gelar juara dalam olimpiade-olimpiade sains di tingkat provinsi maupun nasional---"
"Sebentar." Tanganku teracung di udara. Mengintrupsi perkataan Bu Netta sesaat. "Jadi, apa hubungannya masalah saya dengan cowok ini, Bu?"
"Andara, tunggu penjelasan saya dulu." Menghela napas singkat, Bu Netta kembali melanjutkan, "saya akan beri kamu kesempatan untuk mengejar pelajaran, An. Tetapi dengan satu syarat. Syarat itu adalah menjadi partner belajar Rivaldo."
Bola mataku nyaris keluar dari tempatnya kala mendengar penuturan guru BK dua anak tersebut. Lipatan di dahiku berkerut semakin dalam, aku nggak habis pikir.
Bagaimana bisa aku dititahkan menjadi partner belajar cowok yang nggak kukenal sama sekali di SMA Pustaka? Ini terlalu mendadak.
"Bu, jadi ini alasan saya Ibu panggil ke ruang BK?" Kini, giliran cowok ber-name tag Sebastian Rivaldo yang bertanya.
"Benar, Aldo. Sekalian untuk saling mengenal 'kan?" jeda sekilas sebelum Bu Netta melanjutkan penjelasannya. "Ibu juga sudah bilang ke kamu seminggu yang lalu tentang hal ini. Jadi perkenalkan, ini Andara anak XI MIPA 4. Partner belajar kamu sekarang."
"Loh, Bu. Saya kan belum bilang setuju," protesku sebal sambil mencebikkan bibir.
Mulai. Bu Netta keluar sikap otoriternya.
"Nah iya, Bu. Saya juga belum---"
Bu Netta refleks memelototi cowok di sampingku ganas---yang mau nggak mau membuat cowok itu mendengus kesal menghentikan kalimatnya. Melalui tatapan matanya, seolah-olah dia berkomunikasi sama Bu Netta dengan telepati.
"Dia namanya Sebastian Rivaldo, An. Anak XI MIPA 1. Pasti sudah tidak asing lagi 'kan? Namanya sudah berkali-kali mengaung saat pengumuman ranking satu separarel tiap semester."
Aku memutar bola mata malas. Peduli amat.
"Aldo, ini Andara---"
"Andara?" tanyanya yang seakan ditujukan kepada diri sendiri. "Andara Sialiva, bukan? Oh si Sialiva."
Heh! Berani-beraninya cowok yang baru kukenal sepuluh menit itu langsung memanggilku dengan sebutan Sialiva.
"Jangan panggil gue Sialiva," desisku sinis. Lalu, kutatap tajam manik mata coklat terang tersebut seraya mengisyaratkan ketidaksukaan yang nyata.
"Sialiva yang pernah kekunci di kamar mandi sekolah gara-gara kenop pintunya dia rusakkin sendiri itu, kan? Sampai nggak bisa dibuka dan malah kekunci berjam-jam." Tawa cowok itu meledak bersamaan emosiku yang juga nggak kalah meledak.
"Lo," Suaraku naik beberapa oktaf. Sambil menunjuk wajahnya dengan jari telunjukku, aku berujar berang. "Bisa bahasa manusia 'kan? Gue udah bilang, jangan sebut nama gue Sialiva."
Hal yang memalukan di sini adalah, dia ternyata masih ingat kejadian naas kelas sepuluh saat aku yang kekunci di kamar mandi sekolah akibat ketelodaranku sendiri.
Shit! Ayolah, aku bahkan berusaha sebisa mungkin untuk mengubur dalam-dalam hal seperti itu.
Melihat kekacaunku dengan cowok sialan itu, Bu Netta lantas angkat bicara." Sudah-sudah."
"Baik Andara maupun Aldo, tidak ada penolakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Connection Your Internet
Short Story[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hidup di tanah kusir. Atau paling nggak, aku tendang sampai ke lubang hitam biar hilang sekalian. Mampu...