BAB 10 - Flashback 3

430 96 0
                                    

Selepas bel pulang sekolah berdentang lima menit yang lalu, aku baru membereskan buku-buku pelajaran ke dalam tas.

"Jadi kan, An?" tanya Vanya seraya mengguncang beberapa DVD film Toy Story yang baru saja kam beli kemarin.

"Jadi dong," timpalku riang.

Masalah belajar mah gampang.  Belajar di rumah Vanya bisa, kan.

Vanya mengaitkan jemarinya dengan jemariku sebelum beranjak dari kelas. Lalu, kami berjalan bersisian diiringi percakapan singkat yang mengundang gelak tawa.

Selalu seperti itu. Semenjak bangku sekolah dasar.

"Omong-omong, An. Lo tadi kenapa sampai dipanggil Bu Netta ke ruang BK?" tanya Vanya hati-hati mengungkit masalah sensitif tersebut.

Merengut sebal, aku menceritakan semuanya pada Vanya. "Bu Netta ngeselin banget. Masa nyuruh gue supaya jadi partner belajar si ensiklopedia berjalan itu."

Kerutan di dahi cewek ber-sweater salem itu semakin dalam. "Maksud lo ensiklopedia berjalan tuh siapa?"

"Siapa lagi kalo bukan Sebastian Rivaldo. Tau nggak, Van? Itu loh si Aldo-Aldo anak XI MIPA 1 yang terkenal jenius karena selalu menempati ranking satu separarel." Oke, kuharap Rival nggak mendengar pembicaraanku dengan Vanya sekarang.

Aku nggak bisa membayangkan gimana reaksi cowok paling nyebelin itu ketika mendengar pujianku yang akan membuat siapapun kegeeran jika mendengarnya.

"Sebastian Rivaldo...." Vanya bungkam. Tanda kalau dia sedang mengingat sesuatu. Bibirnya merah mudanya terbuka, kemudian terkatup kembali secepat kilat.

Aku menyenggol bahunya pelan. "Kenapa?"

Vanya mengulas senyum tipis. "Nggak apa-apa, kok. Gue cuma ngerasa aneh aja sama nama itu. Kayaknya, pernah terjadi suatu peristiwa janggal, tapi gue lupa gimana persisnya," ungkap Vanya seraya mengacak-acak rambut panjangnya frustrasi.

"Maksud lo, Van?"

"Gak jadi, An. Nanti aja kalo gue inget lagi gue kabarin."

Aku memandang Vanya curiga. "Oke," kataku meski agak ragu.

Vanya aneh. Nggak biasanya dia begitu.

"Melva."

Suara bariton itu menyapa indra pendengaranku untuk kesekian kali. Refleks, aku mendengus gusar, apa-apaan ini. Baru saja aku dan Vanya sampai di parkiran sekolah, suara familier dari seseorang yang amat kubenci kembali menggema menyulut amarahku.

"Mel, Melva, tunggu." Si pemilik suara tersebut mempercepat langkah menghampiriku dan Vanya. Setelah berhasil menepuk tas ransel Vanya, dia pun membungkuk. Mengatur ritme napasnya yang tersenggal akibat berusan berlari.

Aku mendecak. "Ngapain sih lo?"

"Gue nyari Melva, bukan nyari lo," sahutnya enteng dengan tatapan yang nggak bisa kupahami.

Vanya---yang sedari tadi hanya menyaksikan aura konfrontasi di antara kami berdua, ikut buka suara. "Hah? Lo nyariin gue?"

"Nama lo Melvanya, kan?" Memalingkan perhatiannya sejenak dari tatapan bengisku, cowok beriris coklat terang tersebut menilik name tag seragam Vanya. "Melvanya Dafychi."

Hah, dasar ensiklopedia berjalan.

Aku sedikit tahu sifat Sebastian Rivaldo sekarang. Selain suka banget memancing amarahku, kayaknya cowok yang satu ini juga suka banget gonti-ganti panggilan orang.

Andara, diganti seenak jidat jadi Sialiva.

Sekarang Vanya, diganti menjadi Melvanya.

"Ada urusan apa?" tanya Vanya bingung. Dia melayangkan tatapannya kepadaku yang seolah berbicara dia-siapa-gue-nggak-kenal.

"Gue boleh pinjem Sialiva-nya bentar nggak, Mel?" tanyanya sembari tersenyum jahil, "boleh kan, Mel? Boleh kan? Kalo Sialiva nggak belajar lagi, dia terancam nggak naik kelas nanti."

Rahangku nyaris jatuh tatkala mendengar penuturan Rival yang keras kepala menjalankan bimbingan intens itu meski mendapat penolakkan keras dariku.

"NGGAK, POKOKNYA NGGAK BOLEH. VAN, JANGAN DIBOLEHIN," teriakku jengkel penuh emosi.

Namun, tanpa menunggu persetujuan Vanya, cowok yang nggak tahu diri itu malah menarik lenganku erat lalu membawaku memelesat pergi menunju lab Fisika.

"Nggak ada penolakan, Va" ujarnya kalem.

Oh shit. Go to the hell.

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang