BAB 11 - Art

453 90 5
                                    

Kalau ada sepatu super yang mampu menendang orang sampai lubang hitam, aku akan menjadi pelanggan pertama yang membeli sepatu tersebut.

Pasalnya, cowok tengil di sebelahku tadi minta ditendang sampai lubang hitam banget.

Gimana nggak? Acara bimbingan kami sebagian besar hanya diisi dengan kicauannya yang terdengar frustasi mengajariku rumus trinogometri.

Connection your internet. Connection your internet. Connection your internet.

Nggak terhitung berapa kali kalimat itu terlontar saat Rival mulai lelah mengajariku rumus ini-itu, memberitahu konsep dasar Matematika ini-itu, mengenalkanku pada materi lawas sin-cos-tan yang bikin mata merem-melek---yang realitanya, hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Kemampuan spasialku mengenai ilmu pasti bisa dibilang buruk. Sangat buruk. Aku bener-bener nggak bersahabat sama rumus-rumus dan angka.

Jadi, bisa dibayangkan betapa kacaunya acara bimbingan intens kami untuk pertama kali.

Rival yang terus menerus meledekku dengan kalimat connection your internet, dan aku yang nggak terima dengan kalimat sarkatik sarat makna tersebut justru memperkeruh suasana.

Akhirnya, karena aku sudah sangat dongkol, dan Rival yang juga nggak kalah putus asa, kami pun sepakat untuk menyudahi bimbingan hari ini setelah berseturuan panjang tanpa hasil.

Dan ah ya, Rival juga mengingatkanku untuk datang bimbingan lagi besoknya sepulang sekolah. Memangnya aku peduli?! Belajar dengan Rival bukan opsi yang baik. Bukannya paham akan materi yang disampaikan, cowok beriris coklat terang itu justru semakin mengobarkan api konfrontasi di antara kami.

Ketika jarum jam menunjukkan angka 17.10, kudorong pintu lab Fisika lirih selepas menyampirkan tas ransel motif bunga-bunga.

Kuarahkan langkahku perlahan menuju koridor kelas X IPS yang sunyi karena bel pulang sekolah sudah berbunyi dua jam yang lalu.

Sayup-sayup bisa kudengar celoteh ringan beberapa anak ekskul lukis yang belum juga meninggalkan sekolah.

Mendengar kegaduhan kecil anak ekskul lukis, sejenak membuatku tertegun. Aku membeku di tempat, kini instingku yang bekerja.

Ekskul lukis....

Refleks, aku mempercepat langkah menuju salah satu ruangan di SMA Pustaka yang dipenuhi berbagai merk cat air, cat akrilik, belasan kanvas, dan sebagian lukisan karya anak-anak ekskul lukis.

Langkah kakiku yang lebar-lebar, membawaku sampai di depan ruangan berpintu megah dengan uliran klasik di setiap sisinya, di atas pintu terdapat papan penanda 'Basecamp Ekskul Lukis'.

Belum apa-apa, semerbak aroma cat air meruah menyerang indra penciumanku. Membuat kubangan rindu. Menciptakan setitik sendu.

Seketika, aku lupa masalah Rival. Aku lupa masalah nilai yang merosot. Aku lupa semuanya.

Yang aku ingat ... dulu, jiwaku pernah menyatu dengan seni.

"Nggak, Andara. Ini langkah yang salah."

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang