BAB 14 - BODO AMAT!

395 83 4
                                    

Istirahat pertama hari ini, aku menolak ajakan Vanya pergi ke kantin.

Pikiranku sedang kusut, aku butuh waktu seorang diri.

Menurutku, perpustakaan adalah tempat paling tepat untuk membunuh waktu. Maka di sinilah aku berada sekarang. Mendekam di ruangan ber-AC dengan belasan rak buku, kubikel baca, serta ratusan literatur yang berjajar rapi di sepanjang rak.

Aku merogoh saku, mengeluarkan benda persegi panjang berukuran 6×8 yang sedari tadi menganggu pikiranku.

Vanya masih menyimpan foto itu ternyata. Padahal, aku sudah membuang foto semacam ini di tempat sampah depan kompleks empat tahun yang lalu.

"Itu lo? Gila, culun banget," komentar seseorang di belakangku seraya terkekeh geli.

Aku terlonjak. Dengan cepat, menengok ke asal suara.

Seorang cowok beriris coklat terang sedang menyeringai lebar menatap foto lamaku. Rambut hitam legamnya sedikit berantakan tertiup pendingin udara. Gigi kelincinya menyembul malu-malu ketika tergelak. "Hahaha, itu lo sama Melva pas kelas berapa, Va?" tanyanya dengan sisa-sisa tawa.

Rahangku serasa jatuh dengan bola mata membulat sempurna tatkala menyadari siapa pemilik suara tersebut.

Kalau saja ini bukan perpustakaan, sudah kupastikan aku bakal melabrak cowok di depanku dengan kata-kata sepedas mercon.

"Lo ngapain ke sini?" lirihku tajam terdengar menusuk. "Bisa nggak, nggak usah ikut campur urusan orang?"

Cowok di depanku menaikkan sebelah alisnya yang lebih mirip ulat bulu. "Lah, harusnya kan gue yang nanya begitu. Lo ngapain ke perpustakaan, Sialiva?" dalihnya tanpa emosi. "Tumben. Kalo gue kan emang tiap hari ke sini."

Rahangku mengeras. Darahku mendidih, kalau saja ini di film kartun, bisa kupastikan bakal menyembul kepulan asap tebal di atas kepalaku saking gedeknya aku sama cowok beriris coklat terang yang satu ini.

"Ck. Minggir!" bentakku galak seraya bangkit dari kursi.

Aku menabrak bahu cowok itu keras sebelum berlalu dari perpustakaan.

Mood-ku benar-benar hancur sekarang. Sialan.
Selamat kepada Sebastian Rivaldo, yang sudah berhasil membuat pikiran Andara semakin kusut.

Demi wajan, panci, dan teman-temannya, kenapa Rival hobi banget memancing amarahku, sih?

"Sialiva, tunggu!" Rival menyusulku yang semakin menjauh. "Va, tungguin gue."

Bukannya berhenti, aku malah mempercepat langkah. Sedikit berlari. Menerobos ramainya koridor XI IPS yang sanggup menghalau usaha Rival memangkas jarak di antara kami.

Samar-samar, bisa kudengar teriakan Rival yang tertinggal jauh di belakang.

"SIALIVA, NANTI JANGAN LUPA BIMBINGAN SEPULANG SEKOLAH, YA."

Seketika, hatiku berseru lantang;

BODO AMAT.

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang