"300 ribu kan, Mbak?" Cowok dengan iris coklat terang itu mengulurkan tangannya---memberikan uang kertas pecahan 100 ribuan kepada pegawai kasir.
Oke, sekarang aku nganga nggak banget. Kehadirannya yang tiba-tiba kayak Valak tau-tau udah berada di sebelahku.
Kulayangkan tatapan nggak percaya pada lengan atletis yang terbalut hoodie navy.
"Nggak usah, Val.""Lah, ngapa? Duit lo kurang 'kan? Nggak papa gue bayarin."
Sontak, aku menggeleng. Mengalihkan perhatian pada Rival ke pegawai kasir. "Mbak, nggak usah diterima uangnya. Saya beli sendiri---"
"Nggak usah sok gitu deh, Sialiva. Duit lo kan kurang." potong Rival cepat membuat mataku mencari-cari lubang semut buat memasukkan cowok itu ke lubang tersebut.
"APASII, NGGAK USAH SOTOY." Suara naik beberapa oktaf. Sukses menciptakan lipatan berkerut di dahi mbak kasir.
Ya emang sih uangku kurang, tapi kan gengsi!
"Jadi, siapa yang mau bayar?" tanyanya lola.
"Saya," sahutku dan Rival kompakkan. Sedetik kemudian, kami beradu tatap.
"Lo nggak usah copas kata-kata gue," cecarku sengit.
"Lo tuh yang copas," elaknya datar nggak ada emosi. "Lagian gue nggak semata-mata beliin lo."
Mengangkat sebelah alis, aku menggerutu sebal. "Tuh kan, lo nggak mungkin baik tanpa alasan."
"Yup. Dan syaratnya, abis ini kita ke gramed. Beli banyak buku latihan supaya lo nggak terus-terusan dapat peringkat ter bawah separarel. Nggak bosen apa."
Ah ya peringkat terbawah separarel.
For your information, sebenarnya aku sudah muak mendapat rangking satu paling bawah di pararel. Berbeda dengan Rival yang terus-terusan ranking satu paling atas.
Aku juga sudah jengah bersekolah di SMA Pustaka, coba aja waktu itu mama nggak punya kompensasi dan koneksi---bisa dipastikan aku nggak bakal bersekolah di sini hanya karena menuruti prestise mama.
"Ih apasi, udah ah gue sendiri yang bayar. Mbak, cat air aja nggak pake sketchbook."
Pegawai kasir mengangguk paham. Sedetik kemudian, kudorong tubuh Rival menjauh dari kasir. "Udah lo pergiiii, sana jauh-jauh," usirku gemas.
Ketika Rival sudah nggak terlihat dari pandanganku, tiba-tiba saja ponselku bergetar. Menampilkan panggilan telepon masuk.
Membaca identitas si penelpon sekilas, kuusap layar ponsel lalu men-slide menjadi opsi hijau. "Iya, Ma? Ada apa?"
"Maaf An tadi mama ada urusan pekerjaan mendadak." Suara mama di sebrang telepon terdengar nada kekecewa.
Aku menganggu mengerti, meskipun kutau mama nggak bakal lihat darisana. "Mama besok dateng, kan? Bu Netta tadi marah sama Andara."
"Ngg ... Bu Netta, ya?"
"Emang kenapa sama Bu Netta?"
"Nggak apa, oke, see ya, An." Tiba-tiba, mama mematikan telepon secara sepihak.
Aneh.
Nggak Rival nggak mama, Vanya juga ikut-ikutan aneh.
Ada apa sih ini sebenarnya?
MEREKA MAU NGERJAIN AKU YANG BENTAR LAGI ULTAH, KAN?
TAPI ULTAHKU MASIH LAMA!
KAMU SEDANG MEMBACA
Connection Your Internet
Short Story[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hidup di tanah kusir. Atau paling nggak, aku tendang sampai ke lubang hitam biar hilang sekalian. Mampu...