BAB 20 - Teka-Teki

373 83 3
                                    

"Lo harus jelasin kenapa nyokap gue bisa tau, Val!" Aku menggebrak mejanya, jengkel. Tanganku terkepal erat, gigiku bergemelatuk marah, menyaksikan reaksi Rival yang seperti biasa. Datar.

Dia habis kepentok apa gimana, sih? Cepat sekali melupakan sesuatu yang jelas-jelas membuatku naik darah!

"Lo bilang apa ke nyokap gue?" selidikku lagi.

"Nggak papa. Cuma bentar. Ya lo tinggal nunggu waktu aja sampe Bu Netta manggil nyokap lo," timpalnya enteng sambil membuang tatapan mata ke meja guru. Seolah meja guru lebih menarik ketimbang amarahku yang meledak.

Rahangku mengeras, kalau saja aku khilaf---nggak sungkan-sungkan aku bakal menaboknya sekarang juga dengan buku latihan SBPMPTN punya Aden. "Makin lama kenapa lo makin ngeselin, sih?" Suaraku konstan memekakkan telinga.

Tapi untungnya, ini masih jam 6 pagi. Yang artinya---anak-anak belum ada yang datang ke sepagi ini ke sekolah. Ditambah lagi, kelas Rival yang sepi kayak kuburan, membuat aksi mengamukku jadi makin leluasa.

"Harusnya gue yang nanya. Kenapa lo selalu kabur bimbingan?" tanyanya acuh sambil melipat kedua tangan di depan dada. Astaga! Aku curiga, apa Rival setiap hari minum bensin ya? Mulutnya itu loh! Seakan diberi pelumas bensin agar senantiasa menyulut emosiku.

Karena sudah nggak tahan lagi sama semua sikapnya, aku membentak geram. "Gue nggak ngerti lagi sama sifat lo, Val. Sifat lo sulit ditebak. Lo tuh aneh. Lo misterius. Lo minim emosi. Lo ngeselin."

Rival bungkam. Terjadi cukup jeda sebelum aku melanjutkan. "Iya, lo aneh. Lo sadar nggak!? Kelakuan lo bisa beda seratus delapan puluh derajat ketika bimbingan. Waktu bimbingan, lo jadi sosok yang nggak sabaran. Selalu ngatain gue connection your internet pas lola. Di luar jam bimbingan, lo selalu jadi pribadi yang datar nggak ada emosi."

"Dan hal yang bikin gue nggak habis pikir lagi, kenapa di awal bimbingan lo nolak rencana Bu Netta? Tapi makin ke sini lo malah maksa gue supaya ikut bimbingan? Kenapa, Val?" Aku menatap iris matanya dingin.

Cowok itu bergeming, lama. Dia balik menatap sorot mataku tanpa ekspresi. Pandangan kami saling bertaut.

Dengan jarak yang hanya dibatasi meja sekolah, aku dapat melihat dengan jelas raut wajahnya yang diterpa seberkas cahaya matahari. Membuat iris coklat terang cowok itu semakin terlihat mencolok. Bibir tipis merah mudanya nggak menampakkan seulas senyum. Begitu juga dengan alis tebalnya (yang bagiku ini mirip ulat bulu) nggak menunjukkan respon apa pun.

"Gue kasih tahu rahasia terbesar Sebastian Rivaldo," sahutnya memecah keheningan sebelum menghela napas berat.

Aku menaikkan sebelah alis. "Apa?"

"Hal yang buat gue nerima perjanjian itu, karena gue anaknya Bu Netta. Puas lo?"

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang