BAB 12 - Kaleng Rombeng

421 83 0
                                    

"Bodo amat, lo harus jelasin semuanya ke gue, An." Refleks, aku menjauhkan ponsel dari indra pendengaran ketika suara kaleng rombeng Vanya mulai menyeruak di sebrang telepon.

"Lo harus tau, tadi gue cuma diem bego waktu liat lo ditarik-tarik sama si Aldo. Gue nggak tau apa permasalahannya, tiba-tiba aja---"

Karena gerah, aku menukas gemas. "Iya, gue emang terancam nggak naik kelas."

"HAH!?"

Lagi, suara Vanya yang jauh lebih kencang dari sebelumnya memenuhi kamarku yang bercorak girly.

Aku hanya mengelus dada mendengar suara Vanya yang aku yakini dapat membuat gendang telinga orang jebol ketika mendengarnya. Oke, itu hiperbola.

"KOK BISA, SIH!?" Cewek itu kembali bersuara tanpa menurunkan volumenya sedikit pun.

"Panjang Van ceritanya."

Aku menarik napas berat, lalu menghembuskannya perlahan seraya beringsut dari tempat tidur menuju dapur. Masih dengan sebelah tangan yang megenggam ponsel, aku membuka kulkas lalu menuang minuman bersoda dalam kelas kaca.

"Terus kenapa?" sambung Vanya setelah jeda beberapa detik.

Cerita tentang awal mula aku yang dipanggil Bu Netta sampai ke Rival yang terus menerus memaksaku supaya ikut bimbingan meluncur begitu saja dari mulutku. Semuanya.

"Bu Netta bersikukuh supaya gue jadi partner belajarnya Rival, Van," sungutku seraya menempati kursi panjang mini bar dengan segelas minuman bersoda.

"Terus si Aldo mau-mau aja gitu disuruh sama Bu Netta?"

Menyesap soda dinginku sejenak, aku menggerutu sebal, "tau tuh anak. Gak jelas. Awalnya nolak, tapi lama-lama jadi dia yang maksa. Aneh 'kan? Ternyata, anak jenius lebih aneh ketimbang anak normal."

"Aneh," komentarnya singkat. "Lo merasa nggak sih Aldo ada yang aneh?"

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Vanya, mama---dengan jas lab kebanggannnya, keluar dari ruang eksperimen dengan wajah berseri.

Di rumahku yang di-desain minimalist dua lantai, memang dilengkapi ruang eksperimen khusus untuk mama yang seorang dosen Teknik Kimia. Beliau sering menghabiskan waktu senggangnya berjam-jam hanya untuk menekuni larutan-larutan Kimia.

"Andara, Mama baru dapet kabar dari temen SMP Mama kalau dalam waktu dekat ini akan ada reuni satu angkatan. Kamu ikut ya?"

Telepon dari Vanya terpaksa aku matikan sepihak.

"Kenapa Andara harus ikut sih, Ma?" Aku bertanya malas. Acara berkumpulnya mak-mak seperti ini belum apa-apa sukses membuatku jengkel.

Setiap kali reuni, aku hanya diem bego diseret-seret Mama untuk dikenalkan pada teman-temamnya. Belum lagi, teman SMP Mama suka banget memandangku sebelah mata. Berbeda seratus depan puluh derajat dengan Mama, katanya.

"Mama mau kenalin kamu sama temen-temen Mama. Atau sama anak temen Mama. Siapa tau cocok," jawab Mama sambil menarik kursi panjang mini bar di sampingku.

"Mama nggak malu punya anak sebego Andara?" Aku tertawa kecil. Namun terdengar sinis. "Yang nggak sejenius Mamanya dosen Teknik Kimia, ataupun sehebat papanya dosen Pendidikan Kedokteran."

"Nggak, An. Semua anak dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing," ucap Mama menenangkan sembari mengacak rambutku lembut.

Mama pun menutup percakapan kami dengan seulas senyum tulus.

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang