BAB 31 - Pemaksaan Akrab

364 78 4
                                    

Lambat laun, semua mencapai titik terang.

Karena mama sudah mengetahui bahwa Rival anak dari sahabatnya sewaktu SMP, beliau jelas melarangku untuk ganti tutor bimbingan.

Bu Netta juga demikian, justru semakin mengompori supaya aku dan Rival menjadi akrab. Menjalin pertemanan. Dan, kalau bisa memiliki hubungan spesial. Argh!

Aku nggak akan bisa akrab sama Mr. Connection Your Internet. Titik. Kecuali, dia berhenti memanggilku Sialiva.

Hidupku jadi ketiban sial mulu dengan nama belakang itu.
Termasuk, menjadi partner belajar cowok sialan yang satu ini. Cowok yang kini sedang menopang dagu sambil menatapku dengan tatapan yang nggak kumengerti.

"Apa lo liat-liat?" tanyaku gusar sambil meliriknya tajam.

"Nggak, nggak papa. Gue cuma heran sama lo, Va."

"Heran masalah?"

"Lo aneh. Ngapain ninggalin lukis?"

Pertanyaan Rival bagaikan petir di siang bolong. Aku mengerjapkan mata berkali.

Ha?

Gimana bisa daki Justin Bieber yang satu ini tahu tentanh potensi melulisku?

TUH KAN TUH KAN DIA CENAYANG. TEMEN SE-SMA JUGA NGGAK ADA YANG TAHU AKU JAGO NGELUKIS KECUALI VANYA.

"Apasi? Gak usah sotoy. Jangankan ninggalin lukis, mulai melukis aja gue nggak pernah! Gue tuh nggak jago gambar, Rival," elakku ngasal sambil ngalihin pandangan.

Rival cuma diem. Kemudian, ngeluarin foto usang milik Vanya di saku celananya. "Ini apa?"

Mataku refleks melebar maksimal. "LO NYURI FOTO SMP GUE YA?" jeritku heboh seraya merebut foto itu. Foto usang yang kutemukan di dashboard mobil Vanya.

Di potret tersebut, tergambar jelas aku yang sedang memegang medali emas dengan senyuman lebar merangkul bahu Vanya.
Ekspresi di wajah Vanya juga nggak kalah seneng, dia menenteng sertifikat kejuaraanku.

ANDARA BEGO, IH.

PANTES AKU NYARI TUH FOTO NGGAK KETEMU.

TERNYATA DIAMBIL SI TITISAN DEMENTOR.

ATAU JATUH PAS DI PERPUSTAKAAN WAKTU ITU, YA?

"Balikin!" Kalau saja aku khilaf, aku bakal ngumpat sekarang juga.

"Kenapa lo berhenti melukis?"

"Gue mau fokus ke akademik, Val." Aku menghela napas kasar, kurebut foto itu secara paksa.

"Lucu. Lo tau passion lo di sana, kenapa ngelepas gitu aja?"

"Gue mau fokus akademik, Rival!" Aku melangkah pergi dari lab Fisika. Dadaku terasa sesak. Mataku sudah penuh dengan kristal bening. Rival membuka luka lama. Sial.

"Lo bego, Sialiva."

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang