"Hidup gue akhir-akhir ini kok jadi sial banget, ya," gerutuku di tengah pelajaran Fisika yang sedang berlangsung.
Vanya menghentikan aktivitas mencatat rumus di buku tulis. Detik berikutnya, cewek itu menatapku dengan alis terangkat sebelah, "sejak kapan hidup lo nggak ketiban sial mulu, An?"
"Tapi kali ini kesialannya bikin gue sentimen terus, Van." Mataku menerawang. Mengurutkan kejadian demi kejadian yang terlalu mendadak akhir-akhir ini.
Mulai dari Bu Netta memanggilku ke ruang BK, mengenalkanku sama cowok yang nggak bosan menyebut namaku memakai nama belakang, menyetujui perjanjian absurd secara paksa kalau aku akan menjadi partner belajar cowok tengil segalaksi bimasakti, dan sekarang ... Bu Netta malah menyuruh kami berdua membangun chemistry supaya cepat akrab!
Nggak.
Nggak bisa. Aku nggak akan bisa akrab sama seseorang yang sudah memanggilku menggunakan nama belakang. Sapaanku Andara, bukan Sial---
"Andara! Kamu daritadi melamun terus ya!? Coba kerjakan soal nomer 6 di papan," seru Pak Abidin galak yang tau-tau sudah berada di depan bangkuku.
Aku tersentak. Lamunanku buyar dalam hitungan detik. Kulirik Vanya yang sedang menatapku dengan tatapan seolah mengisyaratkan, gue-udah-ngingetin-lo-daritadi-tapi-lo-nggak-pernah-sadar.
"S-saya, Pak?" tanyaku gamang sambil menunjuk diri sendiri.
"Siapa lagi di kelas ini yang namanya Andara selain kamu." Suara Pak Abidin meningkat satu oktaf. "Ini spidolnya. Cepat kerjakan!"
Aku menoleh cepat ke arah gadis bergurat wajah timur tengah. Meminta bantuan untuk mengerjakan soal di papan. Tetapi apesnya, Vanya hanya menggeleng sembari mengendikkan bahu singkat.
Dia berbisik kepadaku, "maaf, An. Gue nggak ngerti. Daritadi gue cuma diem bego sambil nulis penjelasannya Pak Botak."
"Tunggu apalagi kamu, Andara?"
Buru-buru aku menyambar spidol papan tulis yang disodorkan Pak Abidin.
Langkahku terasa berat menuju papan tulis yang hanya berjarak empat meja dari bangkuku.Mampus.
Aku bener-bener nggak bisa mengerjakan satu soal pun di bab Fluida Statis. Jangankan mampu mengerjakan, mengetahui rumus-rumusnya saja enggak. Sedari tadi, perhatianku tersita pada si Riv-Riv itu (entah, aku lupa siapa namanya).
Tanganku terasa dingin bak direndam air es ketika memegang spidol. Keringat segede biji jagung turut andil menghiasi dahiku kala aku menuliskan sebaris soal nomer 6 di papan tulis. Soal angka setan yang sedaritadi aku utak-atik tanpa tahu penyelesainnya.
"Mati gue. Mati gue. Buset, ini gimana caranya, woi," rutukku lirih sembari bersumpah serapah menyebut nama-nama hewan nggak bersalah dari kebun binatang.
Alhasil, aku cuma diem bego memegang spidol di hadapan papan tulis dengan sederet angka yang seolah mengejekku.
"Lama sekali kamu, An. Ngerjain soal begitu saja tidak bisa. Keluar kamu dari pelajaran saya," bentak Pak Abidin seraya berkacak pinggang.
Menghela napas berat, kukembalikan spidol itu di meja guru. Lalu, beranjak dari ruang kelas dengan perasaan campur baur. Kepergianku dari sini dihadiahi tatapan menghujat oleh teman sekelas.
Kecuali Vanya.
Teman sebangkuku sejak bangku sekolah dasar itu menatapku cemas.
Sesampainya di luar, aku menyadarkan tubuh pada tembok. Merosot perlahan sembari menunduk dalam-dalam.
Iya, aku bodoh. Iya, mengerjakan soal semudah itu saja aku nggak bisa. Iya, aku nggak sepintar kalian.
Setetes cairan bening meluncur dari kelopak mataku tanpa dikomandoi. Aku meraba wajahku, basah.
Aku menangis? Ah, cengeng. Bukankah aku sudah terlalu sering diperlakukan seperti ini?
"Jangan nangis, mending belajar bareng gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Connection Your Internet
Short Story[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hidup di tanah kusir. Atau paling nggak, aku tendang sampai ke lubang hitam biar hilang sekalian. Mampu...