Sore ini cukup melelehkan.
Setiap kali bimbingan, aku sama Rival udah kayak sumbu X dan sumbu Y yang nggak bisa disatuin. Belum lagi, titisan Dementor memberiku setumpuk latihan soal. Silabus setiap pertemuan katanya. Huh."Ada yang bisa dibantu, Kak?"
Seorang pegawai dengan kemeja biru elektrik tersenyum ramah kepadaku.Lamunan tentang Rival tiba-tiba lenyap dalam hitungan detik. "Umm ... tempatnya cat air?"
"Mari, ikuti saya." Pegawai itu berjalan di mendahului, seakan mengomandoi. Aku membalasnya dengan anggukan singkat, lalu kembali melihat-lihat Atelier De Peinture----toko peralatan lukis terlengkap yang pernah kukunjungi.
Pegawai dengan rambut yang dicepol tinggi itu tiba-tiba berhenti di sebuah display yang menyediakan berbagai merk cat air.
Mataku berbinar. Sedetik kemudian, tenggelam dalam atmosfir. Mataku memilah-milah cat dengan kualitas baik dengan harga terjangkau.
"Apa ini ya? Enak juga kalo diaplikasikan. Eh, tapi ini kan harganya nggak enak." Kukembalikan kotak cat air itu ke meja display.
"Wah ini bagus bangettt, tapi kok 500 rebu. Duit gue kurang." Lagi, kotak yang sudah kuambil kukembalikan dengan alasan serupa.
Lama aku menilik satu persatu cat air. Ketika sudah menentukan membeli merk Giotto Finger Paint, aku membalikkan badan. Berniat mencari kuas dan palet di rak sebelah.
Akan tetapi, pandangan mataku secara nggak sengaja beradu dengan sepasang iris coklat terang nggak jauh dari tempatku berdiri.
"Rival?" Aku membekap mulutku dengan telapak tangan. "Lo cenayang ya?"
Bola mataku nyaris keluar dari tempatnya saat seorang cowok dengan seragam SMA Pustaka menoleh cepat ke arahku.
Wajah putih pucatnya nggak menyiratkan keterkejutan sama sekali. Dasar tembok.
"Lo ngapain ke sini? Ngikutin gue pasti." Aku mencibir seraya merapatkan jarak. Posisi kami bersisian sekarang.
"Geer lo," decihnya masih fokus memilih sketchbook beragam ukuran.
Rival yang larut memilih sketchbook tanpa memerhatikanku, mau nggak mau membuatku meneliti wajahnya sesaat.
Oke, katanya nih titisan Dementor anaknya Bu Netta ya.
Dilihat dari apanya? Dia sama sekali nggak mirip Bu Netta!
Betuk rahangnya keras sedikit lancip di bagian ujung, Bu Netta justru full moon.
Iris mata cowok itu coklat terang, sedangkan Bu Netta hitam penuh.
Kalau Bu Netta memiliki kulit kuning langsat dengan bibir tebal merah merekah, Sebastian Rivaldo malah punya kulit putih pucat ditambah bibir tipis merah alami.
Secara fisik jelas mereka berdua bertolak belakang.
Lantas, kenapa selama ini aku baru tau Rival anaknya Bu Netta? Terus juga kenapa di depan Bu Netta tuh cowok keliatan kayak guru dan murid biasa.
Aku memikirkan segala kemungkinan sampai nggak menyadari udah terlalu lama kupandangi wajah Rival.
"Ngapa lo liatin gue segitunya? Awas, rawan baper," celetuknya datar.
"Gue cuma mikir ... lo beneran anaknya Bu Netta?"
"Iya, Sialiva."
KAMU SEDANG MEMBACA
Connection Your Internet
Historia Corta[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hidup di tanah kusir. Atau paling nggak, aku tendang sampai ke lubang hitam biar hilang sekalian. Mampu...