BAB 7 - Awal Mula 5

525 110 1
                                    

Aku berharap, ini hanya mimpi.

Aku berharap, setelah ini aku akan terbangun dan kudapati sedang berada di kasur empuk kesayangan.

Aku berharap, cowok tengil itu nggak pernah ada.

Realitanya, semua sekedar angan-angan.

Cowok tengil itu tetap ada.

Memerhatikanku dalam diam di balik tatapan matanya yang menghujam.

Argh. Aku merutuk gusar. Kejadian istirahat pertama tadi di ruang BK nggak bosan berputar-putar di memori otakku. Seakan mengejek.

Setelah negosiasi alot dengan Bu Netta, dan beberapa kali penolakan, Bu Netta masih bersikukuh pada pendiriannya. Bimbingan intens untuk menikkan nilai raportku harus dilaksanakan.

Ah, ini sih namanya pemaksaan.

"Jadi?" tanya cowok itu memecah keheningan.

Aku memutar bola mata jengah. "Jadi apa?"

Di antara hiruk-pikuk kantin sekolah istirahat kedua, mataku berpendar mencari keberadaan Vanya, teman sebangkuku. Hanya dia satu-satunya target yang tepat untuk kabur dari situasi nggak banget sekarang ini.

"Sepulang sekolah gimana?" tawar cowok yang omong-omong namanya Riv---eh. Riv siapa tadi? Rivandi? Rivaldi?

"Perjanjian absurd itu maksud lo? Nggak. Gue nggak bisa. Gue ada urusan penting." Aku berbohong. Aku sedang nggak ada urusan penting. Padahal, hanya sekedar marathon film Toy Story di rumah Vanya. Tapi, siapa peduli dengan cowok yang belum kukenal satu jam sudah memanggilku menggunakan nama belakang.

"Tapi ini juga penting buat nilai lo, Sialiva," ujarnya tenang sembari meneguk minuman isotonik.

Lagi, dia menyulut amarahku.

"Vanya!" Kualihkan perhatianku dari si cowok yang bikin darah lalu berpindah pada gadis cantik bergaris wajah timur tengah di pojokkan kantin.

Seseorang yang kupanggil namanya menoleh, rambut panjangnya bergerak menyamping seiring tubuhnya yang berpindah haluan. "Andara! Lo kemana aja?" pekik Vanya girang seakan baru saja menemukan sekotak peti harta karun.

Cewek itu melambaikan tangan ke arahkhu. Aku bangkit dari kursi, beringsut meninggalkan cowok beriris coklat terang yang nggak pernah absen membuat amarahku mendidih.

Akan tetapi, sebelum rencanaku berhasil, dia mencekal pergelangan tanganku terlebih dahulu. "Dibatalin, nih?"

Aku menepis tangannya kasar dan pergi begitu saja.

"Oke kalo itu mau lo, Sialiva. Gue telepon Bu Netta, ya."

Ah, sial. Ngadu kan, ngadu kan.

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang