"Lo bego, Sialiva."
Langkahku tiba-tiba terhenti. Pengakuan itu layaknya sebuah tamparan telak, nggak kasat mata tapi sukses membuat pipiku memanas.
"Iya, lo bego Sialiva. Lo bego karena dengerin pendapat orang lain yang bilang lo bego."
Emosiku meluap-luap, darahku kian mendidih. Kepalan tanganku semakin mengeras, besar kemungkinan kepalan tangan ini akan berpindah ke wajah cowok itu sebentar lagi.
"Gue capek, Va, menghadapi perubahaan sikap lo. Gue tau lo jago banget ngelukis. Gue tau itu," jeda sejenak sebelum Rival kembali melanjutkan. "Ck. Gue bahkan pengagum semua lukisan lo di jaman SMP. SMP kita berdekatan, lo inget fakta itu? Menurut gue, lukisan lo tuh aestetik gila. Jiwanya melekat. Pesan yang lo sampein di setiap goresnya mampu gue rasain. Kenapa ditinggalin gitu aja?"
"Lo nggak ngerti, Val. Sampai kapanpun juga lo nggak bakal ngerti!" bentakku sengit. Suaraku tiba-tiba meninggi. Tatapanku menusuk, seakan dapat memutilasi cowok itu hanya dengan sekali lihat.
Pipiku tiba-tiba terasa basah. Kristal bening merebak perlahan. Awalnya cuma satu tetes, lama-lama meruah hingga akhirnya nggak terbendung. "
Nggak, aku bukan sedih mendengar pengakuannya. Justru itu tangis putus asa.
Aku tiba-tiba tertawa hambar. Lelah dengan cap buruk orang-orang tentangku. Mataku membelalak ketika Rival mendekap tubuh mungilku ke dalam pelukannya. Aku mencoba meronta. Akan tetapi, semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin kuat pula pelukan Rival.
"Sialiva, gue yang ngerencanain ini semua. Iya, gue yang minta nyokap gue alias Bu Netta supaya gue jadi partner belajar lo. Dengan begitu, gue bisa membujuk lo balik lagi ke lukis. Gue pengangum lukisan-lukisan lo, Va. Jadi, gue mohon balik ke lukis. Berhenti boongin diri lo sendiri."
Pengakuan Rival membuatku sedikit tertegun. "Kenapa? Kenapa lo mau aja jadi partner belajar gue tanpa keuntungan sedikit pun?"
Mengacak-acak rambutku sekilas, cowok itu berujar datar. "Dibilangin, gue mau balikin rasa percaya diri lo lagi ke lukis. Gue mau lo balik lagi ke lukis. Berkat pesan tersirat yang lo tuangkan di setiap karya lukisan lo, gue jadi memahami arti 'nggak dianggap dalam kehidupan.' Lukisan lo selalu sendu. Kelabu. Sama kayak pelukisnya."
Hening. Aku terjebak dalam pikiran yang kelabut.
"Va," panggil Rival, menyadarkan. "Kenapa gue bisa tau kepercayaan diri lo terhadap lukis meruntuh? Itu karena setiap pesan yang lo sampaikan dalam guratannya Sialiva."
Kudorong sejenak tubuh atletis Rival. "Nggak, gue nggak---"
"LO BISA, SIALIVA." Tatapan Rival berubah melembut. "Lo. Pasti. Bisa."
"Oke, lo emang bodoh di mata pelajaran eksakta. Tapi, bukan berarti lo bodoh di mata pelajaran Seni Budaya, kan?"
"Lo emang lemah menghapal macam-macam penyakit genetis. Tapi, bukan berarti lo lemah saat melukis aliran surealis kan?"
"Va, lihat gue." Rival menelungkupkan kedua jemarinya ke pipi bulatku. Iris coklat terang itu terlihat menghujam. Tak ada lagi sorot datar yang menyebalkan. Rival kali ini berbeda dari sebelumnya. "Kalo lo bodoh di suatu bidang, BUKAN BERARTI LO BODOH DI SEMUA BIDANG."
KAMU SEDANG MEMBACA
Connection Your Internet
Historia Corta[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hidup di tanah kusir. Atau paling nggak, aku tendang sampai ke lubang hitam biar hilang sekalian. Mampu...