BAB 27 - Canggung

341 80 6
                                    

Aku memijat pelipsiku, pening.

Ini nilai atau apa sih?
Ngerusak mata aja didominasi warna merah.

Fisika 4, Biologi 25, Matematika Peminatan 15, Matematika Wajib 18, kurang Kimia aja yang nunggu UH.

Kalo begini terus, gimana aku bisa terbebas dari cemooh anak satu kelas?

For your information, SMA Pustaka terkenal sebagai salah satu sekolah swasta favorit dengan segudang prestasi akademiknya. Jadi, bisa dibayangkan anak-anak dengan IQ di atas rata-rata yang bisa sekolah di sini. Lantas, kenapa aku dan Vanya bisa?

Simpel. Koneksi dan kompensasi.

Kuremas kertas-kertas hasil ulangan itu lalu memasukannya kasar ke dalam tas. Aku membenamkan wajah dengan tangan terlipat di atas meja.

Vanya hari ini nggak masuk, padahal aku mau cerita banyak.

Omong-omong, aku nggak punya teman lagi selain Vanya. Aku benci pada semua teman sekelasku kecuali Vanya.
Orang-orang selalu memandangku sebelah mata.

Andara yang bodoh.

Mereka nggak tahu aku udah belajar jungkir balik buat menaikkan nilai telor ceplok di mapel Fisika menjadi kursi terbalik.

Mereka nggak ngerti perjuanganku menghapal nama-nama sel dan virus sampai nggak tidur semaleman.

Mereka nggak peduli.

Mereka hanya bisa mencibir. Lantas, menghakimi. Andara bodoh. Andara bodoh. Apa yang membuatku nggak membenci mereka?

Sebentar. Boleh aku bertanya padamu?

Apa pintar tidaknya seseorang hanya diliat dari mata pelajaran eksakta?

Jadi kalo orang itu lemah mata pelajaran eksakta lalu menonjol di bidang lain, orang itu tetap dicap bodoh? Orang itu hebat di Matematika-Fisika dan lemah di ilmu teoritis tetap diberi label pintar?

Peduli capek aku berprestasi di bidang lain, tetap aja aku diberi etiket bodoh hanya karena nggak paham trigonometri, gravitasi newton, elektrolit dan non elektrolit.

"Andara?"

Bu Netta memanggil namaku. Membuatku menoleh sejenak.

Kelas sudah sepi, karena jam pelajaran sudah berakhir dua puluh menit yang lalu.

"Kenapa, Bu?"

"Orang tua kamu kok tidak datang?"

Kedua alisku bertaut. "Iya? Katanya kemarin mama mau datang kok, Bu."

"Besok suruh hadir menghadap saya." Selepas berucap begitu, Bu Netta melengos dari kelas.

Aku bangkit, mengambil tas ransel lalu memutuskan keluar kelas. Lebih baik aku ke toko lukis saja membeli sketch book dan cat air baru.

Selama ini, aku selalu menjadi diriku yang lain. Menganggap lukis itu langkah yang salah.

Passion memang begitu, sejauh apa pun aku melangkah menjauh ... pada akhirnya, akan ada suatu masa yang membuatku kembali. Aku nggak benar-benar meninggalkan lukis.

Akan tetapi, sebelum niatku terlaksana, Rival dari arah belakang tiba-tiba menarik lenganku.

Aku berusaha menepisnya, tapi pegangannya terlalu erat. Lalu, cowok itu mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. "Lo kalo nggak mau jalan gue gendong aja sampe lab Fisika."

"Nggakkkk."

"Harus."

"Turunin gue sekarang, Rival!" bentakku sambil memukul-mukul kecil lengan cowok yang dengan nggak tahu dirinya menggendongku secara paksa karena ketahuan kabur bimbingan (lagi).

Duh, sampai kapan sih cowok nyebelin yang satu ini berhenti mengatur-ngatur hidupku terus? Tiba-tiba, bayangan tentang menguburnya hidup-hidup di tanah kusir tergambar di benakku.

"Berisik," gerutunya singkat tanpa memedulikan teriakanku yang semakin memekakkan telinga, "Sialiva, berat badan lo berapa, sih? Gue serasa gendong gentong air."

Duh bisa nggak sih cowok yang satu ini nyebur ke got depan sekolah aja?

Connection Your InternetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang