Surat berstempel resmi SMA Pustaka tergeletak begitu saja di atas meja belajarku.
Isinya belum kubaca sama sekali. Amplop putih gading yang melapisi secarik kertas di dalamnya pun enggan kubuka.
Aku terlalu takut memberikan surat itu kepada mama. Menimbangnya sejenak, kuhembuskan napas berat. Kumasukkan surat itu kembali di laci meja belajar. Mungkin nanti. Bukan sekarang.
Atau mungkin, tidak akan pernah.
"Andara." Sosok yang menjadi sumber kerancauan pikiranku tiba-tiba menyembul di balik daun pintu.
Aku sedikit tersentak, lalu menyahut setenang mungkin. "Kenapa, Ma?"
"Besok mama reuni, kamu udah mutusin nggak ikut beneran? Ayolah An. Temen spesial mama dateng ke acara itu."
Menghela napas kasar, kulirik mama dengan jas lab dan segenggam ponsel keluaran negeri gingseng. "Temen-temen Mama kan sama aja. Mana ada yang beda." Aku mencibir, menyibukkan diri dengan buku paket Kimia di dalam tas.
"Sahabat mama yang dulu sempet lost contac sekarang hadir di reuni, An. Ikut ya? Mama yakin, dia nggak akan nge-judge kamu."
"Oke, nanti Andara pikirin lebih lanjut," cicitku malas.
Mama mengulas senyum lalu beranjak dari kamar. Akan tetapi, sebelum beliau beranjak dari kamar, aku mengulum bibir ke dalam.
Kasih tau sekarang atau nanti ya?
Bu Netta minta ketemu sama besok lagi. Cih.
Lagi, beliau nggak menerima penolakkan. Selalu diktatorial, huh.
Gimana kalau besok pagi saja?
Kalo besok duhh ... mama pasti ngajar.Sekarang aja deh, daripada besok pagi mendadak, ujung-ujungnya mama malah nggak datang?
Kan, aku lagi yang kena masalah.
"Mama."
"Iya, An?" Mama mengintip dari celah daun pintu yang sedikit terbuka.
Kuambil surat panggilan itu dari laci meja belajar lalu beranjak dari sana. Kuserahkan surat tersebut dengan tangan gemetar.
Alis mama spontan terangkat. "Surat apa ini, An?"
"Panggilan dari BK." Aku menunduk. Menghindari tatapan intograsi mama.
"Perihal? Nilai kamu yang menurun?"
Hening. Aku cuma mengangguk lirih.
Menghela napas berat, mama mengeluarkan secarik kertas itu lalu membacanya dengan seksama.
Semenit kemudian, wajah beliau berubah pelik."Guru BK kamu udah bukan Bu Indah?"
"Bukan. Bu Indah udah pensiun, diganti guru baru. Bu Netta namanya."
Nggak heran mama hapal nama guru BK di selolahku. Gimana nggak hapal kalo setiap saat beliau dipanggil ke sekolah buat ngurusi nilai-nilai akademikku!
Tapi emang sih, mama nggak tau Bu Netta karena beliau guru BK baru di SMA Pustaka.
"Ini bener namanya Rinetta Karim?"
"HA?!"
Aku menutup mulutku sendiri dengan telapak tangan. Masih membelalak maksimal, kuraih surat itu lirih dari tangan mama, membacanya sekilas lalu terpaku pada sebaris nama di bawah tanda tangan guru BK.
INI MATAKU MINUS YA?
ATAU EMANG BENER HURUF YANG TERCETAK DI SANA RINETTA KARIM?
BERARTI KALO BENER RINETTA KARIM ARTINYA....
LOH TITISAN DEMENTOR!
"Iya, nama lengkapnya Bu Netta."
Dengan wajah yang masih pucat pasi, mama menggeleng. "Nggak, nggak papa. Oke, besok mama ke sekolahmu," pamitnya begitu saja.
Aku yang masih syok hanya mampu bergeming di tempat.
Ada yang ganjil.
Pertama, fakta mengejutkan kalo Rival beneran anaknya Bu Netta.
Kedua, mama pucat pasi membaca nama Rinetta Karim.
Ketiga, tumben mama nggak ngomel dulu dan langsung memutuskan pergi ke sekolahku besok.
Kenapa semua ini nggak menjumpai titik terang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Connection Your Internet
Short Story[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hidup di tanah kusir. Atau paling nggak, aku tendang sampai ke lubang hitam biar hilang sekalian. Mampu...