◄PROLOG►
-Aku bahkan tidak tahu, sejak kapan rasa ini bermula? Yang aku tahu saat ini, aku butuh hadirmu, hadir yang selalu ada dulu disaat aku menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa. Amat biasa-
Busan, September 2019
Pukul 20.19, gemuruh langit menandakan hujan akan kembali turun setelah sempat reda untuk beberapa saat. Angin berembus lembut berlawanan dengan langkahnya yang gontai seturunnya dari bus yang berhenti di perhentian terakhir sebelum akhirnya kembali ke pangkalan.
Langit Busan nampak gelap, melengkapi ekspresi muram sosok pria yang menyusuri jalan tanpa arah seorang diri. Pria itu berjas hitam dengan kemeja putih yang kancingnya ia biarkan tak terkait rapi dari dua pin paling atas, ujungnya mencuat keluar dan bagian luar jas yang ia kenakan nampak sudah kusut sana sini sehingga bisa dipastikan ia sudah mengenakannya untuk waktu yang cukup lama. Rambutnya yang setengah basah ia biarkan saja tertiup angin.
Hanbin menekan dial 1 sebagai panggilan penting untuknya, menampilkan nama Jiahn di sana. Nama kontak yang sebelumnya bernama chingu berubah menjadi nama seseorang setelah sekian lama. Hanbin tidak tahu, bahwa mengubah nama kontak perempuan itu tidak akan mengubah perasaannya yang sudah meradang ditingkat paling akut.
"Aku ada di taman waktu itu, ke sini sekarang."
"Kau mabuk?"
Sudut sebelah kanan bibirnya terangkat, membentuk jenis senyum miring menyedihkan yang tidak ingin Hanbin tunjukkan pada seseorang yang masih tentu saja menemaninya dengan deru napasnya yang cemas, menunggu jawaban Hanbin. Ah, cemas? Tidak, Hanbin salah mengira ternyata, itu bukan lagi deru napas cemas yang sering pria itu dengar melainkan deru napas yang terdengar lelah atau lebih tepatnya jengah.
Ya, dia pasti sudah jengah dengan segala yang Hanbin lakukan selama ini.
Selama ini. Waktu berlalu secepat itu, meninggalkan Hanbin sendirian bahkan bisa pria itu tebak kalau dia tidak akan bersedia melanjutkan perbincangan yang terdengar sangat menyebalkan.
"Aku tunggu sampai kau datang, hati-hati dalam perjalanan."
Sentuhan lemas jemari pada layar ponselnya membuat sambungan telepon itu putus tanpa penjawab di seberang teleponnya mengatakan bahwa dia akan datang. Hanbin tidak ingin mendengar kalimat lanjutan yang dia ucapkan, seperti yang berakhir pada sebuah penolakannya yang sudah dia lakukan beberapa kali terakhir.
Dia yang nyatanya selalu Hanbin abaikan selama ini.
Dia yang selalu ada di sisinya tanpa mengeluh bahwa ia lelah dengan semua yang Hanbin lakukan.
Dia yang selalu mengatakan bersedia saat Hanbin membutuhkannya.
Dia yang sering bilang bahwa hidupnya tak ada masalah dan tidak perlu dipermasalahkan jika itu masih hal kecil.
Dia yang lebih hebat dalam menahan segala perasaan yang tumbuh di dalam hatinya (mungkin marah, kecewa, dan juga sakit) disaat Hanbin sendiri sudah tidak tahan dengan segala kekacauan yang terjadi di sebuah tempat dalam sudut hatinya.
Hanbin pikir semuanya akan tersimpan rapi dan tidak akan ada yang tahu selain dirinya dan Tuhan, tentang perasaan yang entah kapan berubah haluan. Dari seseorang yang peduli dan memiliki rasa sayang sebagai teman, menjadi seseorang yang ingin egois untuk memiliki dan mempunyai rasa sayang dari pria ke wanita.
Dan, Hanbin mengerti bahwa rasanya seharusnya tidak boleh meluap apalagi dia sampai tahu. Segalanya menjadi tidak benar. Tidak benar, karena dia sudah memiliki rasa sejenis itu, tapi direfleksikan untuk seseorang yang ada bersamanya di dalam mobil itu dan bukan untuk Hanbin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker | proses!
FanfictionTentang friendzone Tentang unrequited love Tentang asing yang menjadi akrab Tentang akrab yang menjadi jauh Tentang jauh yang kemudian terlupakan Tentang obsesi untuk takut melepaskan Tentang mimpi dan harga diri Tentang ego yang tak mau berj...