Twenty-fifth
"Sudah puas sembunyi dariku?" tanya Hanbin tersenyum miring menggoda seperti biasa. Jiahn mendorong Hanbin dan pria itu terjungkal ke sisi Jiahn. Lantas dengan tergesa Jiahn bangun pergi melangkah cepat meninggalkan Hanbin. "Sepertinya kau memang masih ingin sembunyi dariku ya?" Hanbin bersuara lagi dan Jiahn menjadi pihak yang membungkam. Tapi tentu saja, Hanbin mengejarnya kali ini lalu meraih tangan Jiahn yang membuat perempuan Son itu sontak menepis tangan Hanbin yang baru dua detik menggenggam tangannya. "Siapa yang kau maksud sembunyi?! Aku tidak sembunyi!" seru Jiahn gelagapan. Jiahn jelas tidak merasa marah, tapi entah mengapa rasanya benar-benar ingin kabur dari hadapan Hanbin.
"Son Jiahn," Hanbin memanggil masih mencoba meraih tangan Jiahn untuk ketiga kalinya dan kali ini dia benar-benar menahan tangan Jiahn kuat-kuat agar tidak tertepis lagi seperti sebelumnya. Lensa kameranya retak, itu jelas karena dia jatuh dengan tidak baik. Tapi, sekarang soal kamera bukan masalah, yang penting adalah Jiahn. "Aku mencarimu nyaris ke seluruh negara ini, dan begini caramu berterimakasih?"
"Aku tidak pernah memintamu untuk menolongku, jadi kau harusnya mengabaikan hal itu saja."
"Jadi kau minta padaku untuk melihatmu terkena bola, kau terluka dan setelah itu baru menghampirimu?"
"Seharusnya kau tidak perlu repot-repot mencariku sama sekali, lepas."
"Tidak akan, aku benci mengatakan ini tapi kau –" Hanbin menahan ucapannya. Dan kala itu dia berhasil melepas tangannya dari genggaman Hanbin. Jelas sekali tatapan mata itu sangat frustrasi saat harus mengejar langkah Jiahn kembali. "Aku benci mengatakan ini tapi kau hampir terluka, aku sangat membenci melihat kau terluka. Kau selalu terluka, dan kau harus tahu aku benci karena lagi-lagi saat menemukanmu kau nyaris terluka...ah," Hanbin meringis tertahan kala menggerakkan lengan kirinya. Jiahn hanya menghela napas panjang lalu membawa Hanbin bersamanya menuju hotel tanpa mengatakan apa-apa.
Mereka pergi ke kamar Jiahn. Semacam kebiasaan, Jiahn selalu membawa kotak P3K kemana pun ia pergi, terutama jika itu jarak jauh. Jadi dia tidak harus kesulitan mencari apotek jika terluka. Ya walaupun itu hanya antisipasi. Tapi, sekarang kondisinya bukan lagi antisipasi. Seseorang telah terluka dan itu adalah Hanbin. Mereka sama-sama duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi, tapi Jiahn sama sekali tidak membuka suara membuat suasana di antara mereka semakin canggung.
Ruangan yang hening akhirnya pecah menjadi ringisan tanpa jeda dari Hanbin ketika perlahan tangan Jiahn mulai menyentuh permukaan punggung dengan krim pereda memar yang warnanya mulai berwarna keunguan. Setelah selesai Hanbin menurunkan kaosnya dan menyentuh lengan Jiahn sejenak, matanya menatap perempuan itu dalam.
"Jiahn, aku minta maaf atas nada bicaraku yang seperti membentakmu barusan... aku hanya tidak suka kau terluka."
"Seharusnya aku tidak lewat sana tadi," jawab Jiahn membereskan kotak P3K miliknya dan mengembalikannya ke tas, namun kedua matanya enggan menatap Hanbin kembali. "Dengan begitu aku tidak akan berutang budi lagi padamu."
"Jiahn, kurasa bukan waktu yang tepat untuk bertanya alasan segala yang kau lakukan sampai berada dihari ini,"
"Itu jelas, sekarang kau bisa kembali ke kamarmu dan istirahat."
"Jiahn, dengarkan aku dulu..."
"Hanbin, aku akan mendengarmu tapi jelas di sini sebaiknya kau yang dengarkan aku dulu," Jiahn memaksa Hanbin untuk bangkit dan memdorong pelan pria itu menuju pintu keluar. Hanbin tidak melakukan banyak perlawanan, teknisnya pria itu menurut dengan perlakuan Jiahn padanya, tapi jelas sekali mulutnya tidak begitu. Jiahn membuka pintu dan mengirim Hanbin keluar dari kamar hotelnya. "Lakukan liburanmu dan istirahatlah. Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu, aku hanya ingin berlibur. Kita bisa bicara nanti," jelas Jiahn tanpa memberi Hanbin jeda untuk menanggapi, pintu kamar Jiahn tertutup rapat dan tentu saja terkunci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker | proses!
FanfictionTentang friendzone Tentang unrequited love Tentang asing yang menjadi akrab Tentang akrab yang menjadi jauh Tentang jauh yang kemudian terlupakan Tentang obsesi untuk takut melepaskan Tentang mimpi dan harga diri Tentang ego yang tak mau berj...