interval 1 #12 /dreaming/

42 6 1
                                    

Twelveth

"Dan semoga semua yang kau impikan, tentang masa depan .... Aku harap Tuhan mengizinkannya untuk terjadi. Juga aku harap esok dan selanjutnya kau tetap ada di sisiku, mengingatkanku bahwa aku juga punya mimpi yang besar sama sepertimu."

□■play■□

J I A H N

Jam weker membangunkanku lagi, kupikir waktunya ke sekolah sudah tiba lagi. Tapi, kemudian mataku disambut oleh kalender yang tertata menghadap ke tempatku tidur saat posisi miring aku langsung melihatnya. Kemudian saja aku diingatkan tahun yang sudah lama berlalu sejak waktunya kami semestinya berangkat ke sekolah, terganti menjadi pergi bekerja. Tentu pergi kuliah tidak harus sepagi ini. Kelas terawal selama aku di perguruan tinggi, tidak ada jadwal yang ditaruh sepagi ini.

Masih berpikir, ternyata waktu sudah lewat sebanyak 7 tahun setelah kami lulus dari Haesan. Ya, kami semua. Murid seangkatanku, Jaeun, atau mungkin dia dan perempuan itu.

Runguku diisi oleh suara bising orang memasak di dapur. Mungkin hari ini aku akan ditarik keluar dengan cara yang lebih baik hari ini, dan tentu saja orang tidak berubah.

Tidak mudah untuk berubah. Apalagi saat kau masih dihadapkan pada lingkungan yang sama dan orang di sekitarmu juga sama.

Tapi dia .... Lamunanku terhenti saat derit pintu dari dalam kamar berbunyi. Muncul adik perempuanku yang sudah dewasa tanpa aku sadari. Dari anak yang suka jutek, tak sabaran, dan marah-marah menjadi seseorang yang lebih feminim dari dugaanku.

Dia keluar kamar tanpa menyapaku, tapi tanpa kukira dia ternyata kembali lalu mengalungkan handuk kecil yang menempel di rambutnya sebelum itu. Kemudian memberikan sesuatu ke atas perutku. Secarik kertas keras, mungkin sesuatu yang sering berkelebat di kepalaku 7 tahun lalu.

"Aigoo! Nanti kau akan terlambat."

Suaranya cuek. Tetapi aku merasa ada yang salah. Apa itu? Undangan? Ada namaku di sana. Dari Tulisan yang sangat kukenali. Tulisan lelaki—pria yang paling jelek sedunia.

To : Jiahn.

***

Desember 2011

"Ya. Ya. Son Jiahn! Buka matamu."

Perlahan suaranya yang tadinya terdengar sangat jauh menjadi nyata saat perlahan kelopakku terbuka dengan sendirinya. Wajahnya adalah yang pertama kali menyambutku. Beberapa detik wajahnya sempat menjadi buram di mataku, tapi kemudian menjadi bentuk nyata saat jemarinya menyentuh keningku yang mungkin berkerut seperti biasa.

Ekspresi wajahnya tidak cemas. Tidak lega juga. Tapi, ada gurat menunggu saat aku benar-benar menegaskan sorot matanya yang kemudian lepas dari tatapanku saat dia memanggil seseorang.

"Dia boleh pulang setelah infusnya habis."

Itu suara Dokter Lee. Dokter sekolah Haesan. Sekolah kami. Memang dia sosok yang serius saat menangani siswa sakit. Tapi, aku tahu sebenarnya dia baik.

Dan, ternyata dia masih dengan seragam sekolahnya. Aku pun sama. Dia mengekori Dokter Lee hingga keduanya berbincang di ambang pintu. Aku melihat lebih kepada Dokter Lee yang memperingati dia untuk lebih menjagaku.

Setelah Dokter Lee pergi, dia kembali melangkah ke tempatnya saat tadi aku baru membuka mata. Yang tadi hanya mimpi. Aku tidak tahu, apa itu artinya aku sedang menyatakan atau cuman bertanya. Bertanya pada siapa? Malaikat?

Aku kemudian bertanya-tanya lagi, tentu saja penasaran kenapa aku bisa berada di ruang kesehatan. Tepatnya berakhir di sini lagi.

"Ini musim dingin, Jiahn."

Heartbreaker | proses!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang