interval #2 - 34 /Affection/

25 4 5
                                    

2008, Pengadilan Seoul

"Sidang putusan no 2008/03/08 SA kasus tabrak lari persimpangan Euido-gu, Seoul dengan ini menyatakan bahwa pengumuman hasil sidang untuk terdakwa tunggal Oh Sangjoo telah ditunda sesuai dengan kesepakatan para juri dan hakim."

"Pelaksanaan sidang berikutnya adalah seminggu dari hari sidang saat ini diwaktu yang sama, harap para jaksa menimbang kembali tuntutan yang dijatuhi untuk terdakwa karena adanya bukti bahwa terdakwa memiliki riwayat perawatan psikiatri selama satu tahun. Bukti valid dapat digunakan pada hari putusan sidang berikutnya, hal-hal terkait dapat didiskusikan kembali dan dengan ini sidang sementara dinyatakan selesai."

"Seo Eunjo!!" teriak lelaki di kursi terdakwa yang berada di sisi kanan ruang sidang. "Asal kau tahu saja, hari dimana suami anda melamarmu adalah hari di mana hidup kakakku hancur karena melindungi bedebah sialan itu! Kau ingat?!" Sangjoo yang ditahan oleh petugas keamanan cekikikan ketika melihat ekspresi Eunjo. "Anda sepertinya mengingat semua kejadian itu, Jaksa Seo—benar hari di mana kau sidang kelulusanmu sebagai sarjana hukum."

Eunjo mendekat menuju tempat Oh Sangjoo berdiri. "Tidak, aku tidak tahu! Jinhyuk tidak mengatakan apapun padaku,"

Sangjoo memberontak, nyaris mendorong Eunjo kalau saja para petugas sipir tak kuat menahannya. "Bedebah itu takut padamu!! Takut kau kecewa, takut dia meninggalkanmu!"

"Oh Sangjoo-ssi! Tenanglah!" seru pengacaranya, semakin tidak terkendali akhirnya Sangjoo dibawa paksa oleh para petugas sipir.

"Jangan pernah lupa kau yang membuat hidup kakakku hancur sampai kehilangan nyawanya!! Kau tidak akan bisa hidup dengan bahagia, Seo Eunjo! Kau dengar!?"

2013, Rumah Sakit Daeil

Eunjo masih ingat betul seluruh kalimat yang keluar dari mulut pemuda itu dihari-hari yang Eunjo sendiri tidak tahu mesti menyebutnya dengan apa.

Awal dari air mata dan penderitaan ataukah hatinya yang membatu yang justru membuatnya merasa bahagia?

"Ibu?" lirih panggilan itu terdengar sangat lemah, Eunjo yang membelakangi suara itu segera mengusap wajahnya secepat mungkin lalu berbalik dan mendapati putri sulungnya yang masih terbaring lemah telah membuka mata pelan-pelan.

Eunjo mengusap rambut putrinya pelan, "Ini ibu, bagaimana perasaanmu?" tanya Eunjo seraya menyentuh telapak tangan Jiahn yang tak terpasang infus, tak kuasa Eunjo membiarkan air matanya jatuh dan membiarkannya menyentuh ke punggung tangan Jiahn yang ia letakkan di pipinya.

Jiahn baru pertama kali entah setelah berapa lama dia tak melihat Eunjo menangis seperti ini. Ia hanya mengangkat sudut bibirnya samar, ada yang terasa sesak di dalam dadanya. Rasanya seperti ingin ikut menangis.

"Lebih baik, Ibu." Jiahn hanya menatap ibunya lamat-lamat. Dia tidak pernah tahu, bahwa yang selalu terlihat dingin dan tak pernah menangis ini justru yang menyimpan banyak luka atas penderitaan yang ia tutupi dengan rapi.

Sudut matanya basah, Jiahn memang tak pernah pintar menutupi ekspresi atas perasaannya. Satu-satu orang yang tak pernah memahami adalah Hanbin.

Jadi, semua itu hanya mimpi? Bathin Jiahn saat mengingat sosok Hanbin. Mungkin, kali ini Jiahn akan sedikit membuka pikirannya pada lelaki Kim itu. Tapi, dia tidak ada. Kemana dia? Dia tidak datang? Lalu, suara semalam, pria yang selalu berada di sampingnya dan menjaga sampai malam berlalu kalau itu Hanbin hanya khayalnya saja?

"Baiklah, Ibu akan memanggil dokter," ujar Eunjo lalu keluar ruang rawat.

Saat pintu terbuka, Eunjo sejenak berhenti melangkah seperti bicara dengan seseorang mengatakan seperti meminta bantuan untuk menjaga Jiahn sebentar. Kemudian Eunjo benar-benar pergi meninggalkan bangsal.

Heartbreaker | proses!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang