FIFTH
-Aku menyukaimu. Boleh kah?-
"Jadi apa?"
Jiahn nampak berpikir, ingin memasang kalimat yang baik tapi Jiyeon keburu menyadari situasi. "Kemudian orang yang dari tadi kau ceritakan itu bukan temanmu, tapi kau. Iya bukan?"
"Jiyeon, apa begitu terlihat?"
"Kebodohanmu itu hanya satu, Unni. Kau selalu mudah terbaca untuk hal seperti ini," Jiyeon menaruh pulpennya di tengah-tengah buku lalu menutupnya. "Memalukan ya, ternyata yang kau sukai orang seperti yeob-jib oppa?"
"Memang dia orang yang seperti apa? Dan itu bukan hal yang memalukan, hanya saja ...aku sudah tahu dengan jelas situasinya seperti apa, lalu aku masih berani untuk menyukainya." Jiahn memungut pakaian kotor milik Jiyeon untuk dicuci. Jiahn tidak tahu sejak kapan ia bergelut dengan perasaannya sendiri, biasanya dirinya bukan tipe yang akan melakukan hal itu. Tapi, ini perasaan yang baru ia rasa, dan ia tidak mengenali perasaan itu sampai pada hari di mana di mata Jiahn kalau lelaki itu terlihat dua kali lipat lebih menarik dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya terasa nyaman saat melihat Hanbin berada di dekat jangkauannya, lalu seperti ada luka kemudian dipercikkan garam begitu menyaksikan ada Gyuri bersamanya. Jujur saja, itu menyakitkan karena Jiahn menyaksikan itu setidaknya, nyaris setiap hari jika sekolah.
Jiyeon hanya berdiri di dekat jendela, membuka sedikit tirainya dan melongok keluar sementara maniknya mendapati Hanbin yang keluar dari rumahnya. "Aku rasa sama seperti waktu yang berjalan, tidak ada yang bisa mengontrol kapan perasaan mengganggu itu berubah menjadi sesuatu yang membuatmu nyaman. Unni kau tidak bisa disalahkan untuk itu, lagi pula Hanbin Oppa dan gadis itu hanya dalam hubungan some. Dia bukan pacarnya."
Jiahn merasa bodoh mendengar nasihat dari adiknya sendiri. Jadi dia memilih tidak melanjutkan obrolan lalu keluar dari kamar Jiyeon dengan penuh baju kotor milik adiknya. Jiahn tahu, Jiyeon tidak salah. Memang siapa yang bisa mencegah perasaan yang datangnya seperti angin. Dan benar memang bahwa mereka tidak pacaran. Tapi, bukan berarti mereka tidak ada apa-apa. Sama seperti Jiyeon yang tahu tentang perasaan Jiahn, begitu pun Jiahn yang begitu cepat tahu bagaimana perasaan Hanbin pada Gyuri, juga Gyuri pada Hanbin. Meskipun Hanbin tidak pernah menyadarinya.
Dan Jiahn mengerti, bahwa sejak hatinya mantap telah mengisi kekosongan itu dengan kehadiran Hanbin, ia tahu bahwa segalanya tidak pernah sesederhana gaya gravitasi.
**
"Jiahn?" Minna memanggil Jiahn dari ambang pintu kelas. Beberapa anak menoleh, namun kebanyakan tidak peduli akan hal itu. Minna sendiri adalah teman sekelas Jiahn, namun anak itu tidak pernah benar-benar dianggap di kelas karena sedikit eksentrik dan dikenal sebagai kutu buku. Jiahn sendiri juga tidak benar-benar akrab, jadi dipanggil olehnya adalah hal yang aneh dan sedikit membingungkan. Jiahn melangkah mendekat ke pintu, meninggalkan Jaeun yang sedang mengobrol dengannya.
"Ada apa?"
"Dari Hanbin," Minna membenarkan letak kacamatanya, lalu dengan tergesa meninggalkan Jiahn yang masih tertegun di ambang pintu begitu melihat kursi Hanbin yang kosong dan juga secarik kertas warna biru langit di tangannya.
Jiahn berjalan melewati kelas Gyuri, namun tidak ada dia di sana. Tangannya lantas membuka secarik kertas itu berisi tulisan tangan Hanbin di sana.
Temui aku di auditorium sekolah. Datang sendiri. Ambil sesuatu yang kau lihat pertama kali di lokerku. –Hanbin.
"Apa apaan anak ini,"gumam Jiahn namun tetap melakukan yang lelaki itu minta. Tak bisa dipungkiri sudut bibirnya terangkat tinggi.
Jiahn membuka loker dengan nama Kim Hanbin, dengan mengingat kalimat perintah terakhir yang ada di dalam kertas itu Jiahn menangkap sebuah mawar segar tentu saja tanpa duri. Dan, tidak sengaja ia melihat beberapa foto dirinya dan Hanbin di sana. Satu saat ulang tahun Hanbin beberapa bulan lalu, dan dua foto lain saat Jiyeon mencoba polaroid baru miliknya. Itu hanya momen random saat dirinya dan Hanbin mengerjakan tugas sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker | proses!
FanfictionTentang friendzone Tentang unrequited love Tentang asing yang menjadi akrab Tentang akrab yang menjadi jauh Tentang jauh yang kemudian terlupakan Tentang obsesi untuk takut melepaskan Tentang mimpi dan harga diri Tentang ego yang tak mau berj...