-Mencarimu seperti olahraga, prosesnya panjang dan melelahkan, tidak tahu apa berhasil atau tidak sama sekali-
H A N B I N
Ini berat. Aku tahu, baru saja aku hanya menghela napas yang entah keberapa kalinya begitu kakiku menginjak fakultas seni tari di mana gadis itu berada. Ya, atau mungkin sudah pergi seperti yang Sera katakan padaku begitu berpapasan di koridor menuju kelasnya. Dia pergi ke Amerika katanya, bukan sekadar ke Jepang seperti yang terakhir kalinya ia katakan padaku sebelum akhirnya kami jadi bertengkar karena sikap tidak dewasanya, atau mungkin saja aku yang tidak dewasa menyikapi hal itu.
Semestinya yang kulakukan tak perlu sampai semarah itu, tak perlu sampai memintanya pergi ke Amerika, tak perlu mengatakan pada akhirnya kita berpisah. Dan, selamat bodoh! Dia telah mengabulkan permintaanku. Aku mengacaukan hubungan kami sejak awal, dan akhirnya akulah yang dicampakkan olehnya. Mungkin juga aku sering menyakitinya, tanpa kusadari.
Dia muak denganku, dengan cara berpikirku yang tidak dewasa, dengan aku yang seperti ini; Bukan apa-apa. Jelas, aku hanya merasa tiba-tiba dadaku terasa ada bagian kosong tapi, mungkin saja itu tak sebesar saat aku tahu Jiahn pergi meninggalkanku. Oh, dia tidak meninggalkanku, ya bodoh! Tidak begitu. Dia pergi karena memang harus pergi, mungkin untuk mimpinya, mungkin juga untuk mimpi orang lain atau lebih tepatnya sebuah obsesi, mungkin juga karena hal yang tak pernah kucari tahu karena aku tidak pernah mencoba untuk mendengarkannya berkisah tentang sesuatu mengenai apapun padaku. Tidak sekalipun.
Suara bising pesawat yang akan melintas terdengar begitu aku keluar dari gedung fakultas seni tari. Aku menatap langit yang kebetulan cerah, mungkin cukup menyenangkan melihatnya dari jendela pesawat hingga akhirnya pesawat terbang nun jauh di sana melewati langit di mana aku sedang menatapnya penuh kehampaan. Seharusnya, mungkin yang kulakukan sekarang adalah berusaha membuatnya kembali, keluar dari barisan boarding pass atau mungkin yang paling parah membatalkan penerbangannya. Tapi, kata putus yang dia ucapkan tempo hari membuatku sadar bahwa tidak ada hak bagiku untuk mempertahankannya di sini, untuk tidak pergi mengambil pertukaran pelajar itu.
Langkah kakiku yang sebelumnya pelan, kemudian bertambah cepat hingga akhirnya aku memilih untuk berlari seperti orang yang mati-matian mengejar kesempatan emas dalam hidup mereka masing-masing. Seperti pekerja yang mengejar bus agar tidak terlambat datang ke kantor, atau mungkin juga seorang pria yang ingin mempertahankan orang yang dicintainya pergi. Aku akhirnya tiba jembatan sungai Han, sisi seberang lain dari tempat terakhir di mana Jiahn mengajakku untuk pergi lari pagi dengannya hari itu di dua tahun lalu. Ya, Jiahn. Aku tidak ingin membahas soal Gyuri bukan karena aku tidak cukup mencintainya, atau dia tak memiliki arti dalam hidupku. Tapi, tanpa sadar kepalaku berputar pada memori malam di mana Hanwoong mendatangi apartemenku, kami minum bersama, memperbaiki hubungan persaudaraan kami dan obrolan kami menjadi tentang gadis itu. Gadis yang menghilang seperti ditelan bumi, jejaknya seakan dihapus oleh air hujan yang mengguyur, aromanya seakan lenyap tertiup deru angin, suaranya seakan tenggelam dalam kebisingan jalanan kota, juga senyuman di wajahnya yang seakan hanya tertinggal abadi di dalam album foto dan beberapa pigura yang hanya berwujud panjang dan lebar. Tentang dia yang tidak kuketahui sama sekali. Kisahnya yang penuh rahasia dan aku dilarang untuk mengintip.
Dan, entah sejak pada detik yang keberapa... aku merasa bahwa aku sudah tahu, siapa yang benar-benar harus kucari, juga siapa yang benar-benar aku minta kembali untuk berada di sisiku, sekali lagi. Bersamaku.
███
24 April 2013, Bundang Kediaman keluarga Kim
"Kami sudah berpisah, Ayah." Ucapku dengan payah sesudah kami menyelesaikan makan malam. Ini adalah yang pertama setelah aku tidak pulang ke rumah untuk beberapa bulan. Hanwoong menatapku sebentar lalu memilih beranjak menuju sofa untuk menyahut koran yang terletak di atas meja, enggan mendengar perbincanganku dengan mereka –ya, ayah dan ibu kami. "Itu hal yang bagus, Hanbin." Ibu menyahut dengan hati-hati. Mungkin cemas kalau ayah akan kalap, begitu juga denganku yang entah sejak kapan emosiku tidak stabil dari yang biasanya. Tambah buruk pasca putus dari Gyuri. Seseorang yang kupikir dapat mengerti dengan baik diriku, daripada diriku sendiri. Seseorang yang selalu bilang akan bersamaku, namun nyatanya pergi dengan mudah begitu aku dan dia sama-sama diselimuti oleh kemarahan juga kecemburuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker | proses!
FanfictionTentang friendzone Tentang unrequited love Tentang asing yang menjadi akrab Tentang akrab yang menjadi jauh Tentang jauh yang kemudian terlupakan Tentang obsesi untuk takut melepaskan Tentang mimpi dan harga diri Tentang ego yang tak mau berj...