Alunan suara musik dari kotak musik berputar pelan memenuhi seluruh ruangan yang tak begitu besar itu. Mata bulatnya terbuka pelan, keadaan begitu gelap. Ada boneka beruang yang selalu menemaninya tidur. Tapi, hari itu dia terjaga. Lalu mendengar suara dari luar, saling meneriaki satu sama lain. Sepertinya terjadi pertengkaran hebat, tapi saat ingin turun dari tempat tidur dan melihat cermin, dia hanya sesosok anak kecil yang bahkan belum genap sepuluh tahun. Tubuhnya masih pendek, bicaranya masih payah, meminta untuk dibukakan pintu.
Kemudian, di sudut pintu dia melihat seorang anak lainnya sedang terduduk dengan wajahnya bersembunyi di antara kedua lutut mungilnya. Matanya semakin membulat saat menyentuh anak itu, justru itu adalah dirinya sendiri. Anak itu nampak tidak menyadari kehadirannya. Kembali bangun dan menggedor pintu kayu besar di hadapannya. Suaranya serak karena banyak menangis. Memanggil ibunya beberapa kali sementara pertengkaran masih terjadi di luar pintu itu.
"Jangan seperti ini, kau sudah keterlaluan!" seru suara laki-laki nampak putus asa. "Aku bilang, aku seperti ini juga karenamu! Karenamu! Kau ingat ?! Kau yang keterlaluan, kau tidak bisa membawa anakku pergi bersamamu dan aku harus mengurus putri selingkuhanmu!"
"Aku tidak pernah memintamu merawat anaknya, Seo—"
"Berhenti menyebut namaku! Aku cukup menyesal bahwa anak ini lahir dengan darahmu mengalir di dalam tubuhnya. Jangan melarangku melakukan ini! Jiahn tidak akan melihatnya, aku bersumpah dia tidak akan kubiarkan tahu tentang apapun!"
"Kau tidak bisa mengurungnya seperti ini terus, ini tidak benar. Kita bisa menitipkan Jiahn pada neneknya —"
"Jangan berani-beraninya kau membawa ibumu ke dalam masalah ini! Jinhyuk, kau dengar!? Kau dengar suara putrimu di dalam itu? Hah!? Apa kau mau melihatmu menjadi sosok penjahatnya di sini?! Buka pintu itu jika kau ingin putrimu membenci dirimu selamanya!"
"Sayang!"
"Berhenti memanggilku begitu! Aku menyesal dengan semua hal yang ada kaitannya denganmu, Son Jinhyuk! Kau menghancurkan segalanya!"
"Dengar,"
"Tidak!"
"Eunjo!! Dengar —termasuk tentang Jiahn?"
"Termasuk putri kita. Aku muak dengan semua ini! Jadi, jangan hentikan aku! Jangan hentikan tentang apa yang aku lakukan pada putrimu. Dia tidak berhak dan tidak layak untuk melihat betapa menjijikkan sosok ayahnya."
Jiahn menutup telinganya dengan kedua tangan, sebisa mungkin melupakan apa yang terjadi. Dia terus berkata tidak dengan suara serak dan masih berusaha terus berteriak. Ruangan yang ia tempati semakin gelap seakan ingin menelannya.
"TIDAK! TIDAK! TOLONG AKU! BUKA PINTUNYA! IBU, TOLONG AKU! BUKA PINTUNYA!"
Daniel mendekat, mengguncang tubuh Jiahn yang berpeluh seraya memanggil namanya berulang kali. "Jiahn? Jiahn! Bangunlah, kau bermimpi. Jiahn?! Son Jiahn!?"
Jiahn akhirnya terbangun, matanya membulat sempurna saat perlahan gurat cemas Daniel mengisi netranya. Napasnya memburu, Daniel mengusap pucuk rambut Jiahn yang lembab oleh keringat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Daniel. Jiahn masih mencoba mengingat apa yang terjadi di dalam mimpinya. "sepertinya mimpi buruk." Daniel mengambil air putih untuk Jiahn. Jiahn memejamkan matanya perlahan, mencari lagi apa ingatan yang mungkin saja berkaitan dengan apa yang ada di mimpinya. Tapi, nihil. Semakin dipikirkan, kepala Jiahn semakin diserang rasa sakit yang tak bisa dikatakan.
Jiahn hanya meminum seteguk air pemberian Daniel. "Aku baik-baik saja. Hanya sebuah mimpi buruk, itu sudah biasa." Jiahn meyakinkan Daniel bahwa dia baik-baik saja. Atau mungkin, sakit kepalanya efek beberapa kandungan alkohol dari minuman yang ia minum setelah pergi bersama Daniel, Hyunjo dan Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker | proses!
FanfictionTentang friendzone Tentang unrequited love Tentang asing yang menjadi akrab Tentang akrab yang menjadi jauh Tentang jauh yang kemudian terlupakan Tentang obsesi untuk takut melepaskan Tentang mimpi dan harga diri Tentang ego yang tak mau berj...