interval 1 #14 - Different Path

67 6 3
                                    

Fourteenth

-Kami hanya bersama, tapi bukan untuk tujuan yang sama.- 

J I A H N

Suatu kali, aku berpikir tentang apa yang kukatakan padanya ketika pengumuman ujian SAT telah keluar. Aku dengan jantung yang berdebar, dan dia dengan tatapan menunggunya berdiri di sisiku menungguku bicara. Dan aku mengatakan ini, "Hanbin aku tidak akan kuliah di Seoul, aku juga tidak akan menerima beasiswa yang aku dapatkan atas rekomendasi dari Haesan. Tapi aku memutuskan untuk kuliah di luar kota. Sepertinya jauh dari ibuku akan lebih baik," Dia masih diam, belum memberikan jawaban, karena sepertinya dia tahu masih ada yang mau kusampaikan. "Aku mendaftar kuliah di Daejeon, mengambil bidang hukum yang seperti ibuku minta, dan setelah itu aku mengambil ilmu komputer seperti yang aku inginkan, bisakah kau memilih salah satu untukku?"

Lalu dengan senyum cerahnya ia menjawab. "Apapun itu, pilihan apa saja akan selalu berakhir bagus untukmu. Aku mendukungmu!"

Namun, itu jelas hanya apa yang ada di dalam bayanganku. Dan lucu, terkadang Tuhan selalu memberi sebuah realitas yang jauh dari bayangan manusia yang menjalani. Kemudian datang lah dia memang dengan wajah berseri, senyum cerahnya tercetak jelas dan matanya berbinar. Seperti punya sesuatu kabar yang kadar bahagianya lebih dari yang aku miliki sekarang.

"Aku tidak akan bicara dua kali," katanya bersemangat, mata itu seolah punya kalimat bahwa dia adalah orang paling beruntung dan bahagia hari ini. Seolah Tuhan memberikannya keberkahan –kebahagiaan tak hingga untuknya. Sudut bibirnya tak jua turun saat dia kembali bertutur lagi, "Aku resmi dengannya." ungkapnya sampai memekik. Aku berharap salah dengar, jadi aku tidak merespons apa yang dia katakan. Tapi, akhirnya aku meluncurkan sebuah kata yang lebih terdengar seperti tak terima. "Mwo?"

Dia nampak antusias untuk mengatakan lagi, dan aku tidak bisa mencegahnya. "Aku bilang, aku sudah resmi dengan Gyuri. Kami resmi berpacaran sekarang! Dan kau tahu?!"

Aku masih tidak merespons lebih lanjut, memberi reaksi apa saja yang selayaknya seorang teman berikan jika mendengar temannya berhasil dalam hubungannya. Yang kulakukan hanyalah membisu. Tepatnya tidak tahu harus mengatakan apa, atau bereaksi seperti apa. Ketika membohongi diri sendiri saja, sudah cukup sakit.

Antuasiasmenya tak habis, seperti biasa ia tidak benar-benar sadar dengan ekspresi wajahku saat ini. Dia sedang tenggelam dalam sukacita-nya seorang diri, ya meski dia mengajakku. Aku yang menolak untuk bahagia. Dan, kabar bahagiaku seperti bukan apa-apa. Jadi dia tak berhak tahu. Tuhan memang selalu mengajarkanku untuk menanggung segala beban dan kebahagiaan sendirian. Bahkan, di kala kupikir dia adalah orang terakhir yang bisa tahu perasaanku yang sesungguhnya, saat di mana kurasa dia akan memberikan sebuah kalimat dukungan seorang teman –seperti yang ada dalam bayanganku sebelum dia bilang berita bahagia-nya itu. Kini, di saat aku membutuhkannya, dia bilang kalau aku tidak baik-baik saja, dia akan berada di sampingku. Namun, nyatanya dia berada di hadapanku, dengan berita bahagia lainnya. Tapi, dia tak tahu kalau aku tidak baik-baik saja, bahkan disaat kini mataku sudah mengatakan segalanya.

"Aku lolos ke KH, Jiahn! Aku berhasil masuk KH, demo musikku menang menjadi yang pertama! Kau senang 'kan? Ya Tuhan! Ini hari terbaik dalam hidupku!"

Dia memperlihatkan ponselnya sejenak padaku. Mendapatkan sebuah surel dari KH dan memamerkannya padaku. Tertulis jelas di sana, bahwa dia menjadi pemenang kompetisi yang dia katakan terakhir kali. Otomatis membawanya langsung masuk menuju Universitas KH meski dia tak lulus dalam ujian SAT.

Tuhan mendengar doaku. Agar dia berhasil masuk KH. Karena hanya di sana satu-satunya universitas yang memiliki jurusan seni namun konsentrasi musik.

Heartbreaker | proses!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang