TWENTY
Tidak ada gunanya jika kau pergi sejauh ini, tapi hatimu masih ditempatkan untuk orang yang sama. Ragamu bersembunyi, tapi hatimu diam-diam selalu saja ingin kembali.
Bundang, 5 Mei 2013
Jiyeon baru hendak masuk ke dalam rumah begitu seorang kurir paket datang menghampirinya. Ia baru saja kembali setelah jogging pagi, beberapa bulan belakangan pelatihnya meminta Jiyeon untuk melatih kebugarannya lebih giat lagi untuk kompetisi renang pemuda. "Maaf, apa ini kediaman Seo Eunjo? Ada paket kilat untuknya."
Jiyeon sebenarnya enggan menerima paket itu, tapi berhubung tadi ketika ia pergi ia baru melihat ibunya masuk ke kamar tidurnya untuk istirahat akhirnya Jiyeon mengangguk. "Benar, itu ibuku. Paket apa?"
"Kalau itu saya juga tidak tahu, Nona. Tolong tanda tangan sebagai tanda terimanya." Ujar sang kurir itu memberi pena pada Jiyeon yang memegang paket itu. Sedikit heran karena tak ada nama pengirim apalagi alamatnya, Jiyeon tak pernah benar-benar ikut campur tangan soal pekerjaan ibunya, namun tergelak perasaan penasaran begitu ia melihat paket yang berada di tangannya sementara tukang paket tadi sudah melenggang pergi dengan mobil pengirimannya. Jiyeon hanya menaikkan bahunya sendiri, lalu akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, tidak ada sambutan, tidak ada pertanyaan intinya Jiyeon selalu disambut sepi, dan gelap begitu ia berada di balik pintu rumah yang ukurannya lumayan besar itu. Meskipun itu tidak lebih besar dari rumah lamanya yang ditinggalkan ayahnya dulu. Jiyeon sempat ragu begitu ingin menekan engsel pintu ke bawah untuk membuka pintu ruang kerja ibunya, Jiyeon bukan tidak peduli, tapi dirinya terlalu canggung untuk masuk ke ruang kerja ibunya jika tidak perlu-perlu amat. Karena Jiahn pun juga jarang masuk ke ruang kerja ibunya.
Setelah berdiskusi dengan dirinya sendiri akhirnya Jiyeon menghela napas, "Hanya taruh paket ini dan pergi." Gumamnya sendiri lalu membuka pintu yang engselnya telah ia genggam sedari tadi. Jiyeon berusaha sebisa mungkin tidak membuat suara derit pintu karena ia cemas itu akan mengganggu ibunya.
Jiyeon sebenarnya ingin mengatakan pada Jiahn sejak lama, bahwa ibu mereka sedikit mencemaskan akhir-akhir ini, Jiyeon sesekali melihat ibunya hanya melamun ketika sendirian, atau mungkin suatu kali pada malam di mana Jiyeon sangat mengantuk parah dia mendengar ibunya menangis sendirian dengan kepala tertempel di meja ruang kerjanya. Jiyeon ingin bertanya, tapi egonya terlalu tinggi untuk melakukan itu. Jiyeon juga merasa, ibunya tidak mungkin terbuka padanya, bicara saja jarang, bagaimana mau memberitahu bagaimana perasaannya?
Jiyeon menyapu pandang begitu berada di ruang kerja ibunya, ia menyalakan saklar lampu ruangan dan begitu saja ruangan menjadi terang. Jiyeon lantas menaruh paket tadi di atas meja kerja ibunya, di mana masih berserakan kertas-kertas dan berkas-berkas kejaksaan, mungkin kasus yang ia tangani. Lalu tidak sengaja, tangan Jiyeon menyenggol mouse yang membuat layar laptop ibunya menyala. Itu sebuah rekaman kamera pengawas di sebuah persimpangan jalan, kening Jiyeon mengerut tapi suara langkah membuatnya mundur dengan tergesa dan Jiyeon jatuh terduduk. Keningnya semakin berkerut begitu menemukan sebuah kotak paket yang mirip dengan yang ia terima, namun itu berisi pisau dengan cairan merah pekat di mata pisaunya. "Sedang apa kau di sana?" tanya Eunjo berdiri di ambang pintu dengan nada dingin. Tapi matanya membulat sejenak dan melangkah cepat menyuruh Jiyeon menyingkir. "Aku sudah tanya padamu, kenapa masuk ke ruang kerjaku tanpa izin?!" tanya Eunjo menekan, Jiyeon tak menggubris tanya ibunya, justru ia balik bertanya. "Apa-apaan ini, Bu? Ibu diteror siapa? Keluarga terdakwa?!"
Eunjo memejam, helaan napasnya berat. "Bukan urusanmu, keluar." Jawabnya dengan nada yang menahan marah.
"Ibu, jawab pertanyaanku dulu." Jiyeon makin keras kepala, namun Eunjo justru mendorongnya menjauh dari meja kerjanya. "Sudah kubilang keluar! Aku tidak pernah mengizinkanmu masuk ke dalam sini!"seru Eunjo meneriaki Jiyeon. Jiyeon terentak dibuatnya, matanya berkaca-kaca seketika, tidak menyangka bahwa ibunya akan berlaku sekasar itu. Ia hanya peduli pada ibunya, ia hanya ingin tahu apa yang terjadi pada pekerjaan atau pada ibunya. Dan teror bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Jiahn sedang tidak ada di antara mereka, bukankah yang benar saat ini mereka harus menjaga satu sama lain? Tapi, ada apa dengan ibunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker | proses!
FanfictionTentang friendzone Tentang unrequited love Tentang asing yang menjadi akrab Tentang akrab yang menjadi jauh Tentang jauh yang kemudian terlupakan Tentang obsesi untuk takut melepaskan Tentang mimpi dan harga diri Tentang ego yang tak mau berj...