ANGGA!
Aku terbangun dari tidurku. Aku memimpikan Angga yang pergi meninggalkanku.Sudah seminggu aku tidak mendapat kabar darinya. Di mana Angga? Aku menunggunya. Siang ini, aku memutuskan akan pergi ke rumahnya. Aku menekan nomor telpon Edward di ponselku.
"Halo? Edward?"
"Iya Sar?"
"Nanti setelah pulang sekolah lo kemana?"
"Nggak ada acara. Kenapa?"
"Oh. Ya udah, lo temenin gue ke rumah Angga ya?"
"Iya.."Setelah Edward mengiyakan ajakanku, aku menutup sambungan telepon. Edward tahu kalau aku hampir gila karena menunggu kabar Angga. Aku takut Angga kembali sakit sehingga ia tak sempat mengabariku.
***
Jam berdetak lebih lamban hari ini. Aku ingin segera pergi ke rumah Angga. Tapi aku adalah seorang siswa yang harus menaati jam sekolah karena itu adalah kegiatan rutinku.
Dan disaat seperti inilah membuat waktu berada di sekolah menjadi percuma. Aku tidak dapat memahami apa yang dipelajari hari ini. Aku sibuk melihat jam dinding yang bedara di dinding kelas dekat tempat duduk guruku.
Jam istirahat tadi hanya ku habiskan untuk tidur di atas mejaku. Aku sama sekali tidak berselera makan. Aku belum menceritakan masalahku ke Karin atau siapapun. Edward mengetahui hal ini karena di kelas kami duduk bersama. Tidak mungkin kalau dia tidak merasa aneh dengan sikapku. Saat istitahat tadi Karin dan Edward membawakan makanan untukku. Mereka sangat perhatian.
Sepertinya Karin sudah tau tentang Angga. Syukur dia tidak bertanya. Aku tidak ingin satu sekolah tahu ketika aku memiliki masalah dengan Angga. Terkadang berita menyebar begitu cepat tanpa ada sumber yang jelas. Sudah pasti dari banyaknya sumber versi cerita akan berubah dan membuat fakta sebenarnya hilang perlahan.
***
"Dward, ayo!" seruku.
"Kita jadi ke rumah Angga?"
"Lo nggak mau anterin gue?" tanyaku dengan tatapan tajam.
"Nggak gitu, Sar," desisnya. Akhirnya, Edward mau mengantarku ke rumah Angga.Sesampainya di rumah Angga, aku terkejut melihat sebuah tulisan yang terpampang di pagar rumahnya.
RUMAH INI DI JUAL.
"Dward, kita salah rumah kan?" tanyaku sedikit tak percaya.
"Nggak kok, Sar."
"ANGGAAAA!" panggilku lantang.
"ANGGAAAAA!!!" Aku mengetuk pintu kayu besar bercat putih dengan keras."Dik," ujar seseorang yang tiba-tiba menghampiriku. "Adik siapa ya?"
"Saya..." aku terbata-bata menjawab orang asing itu.
"Kami teman Angga, Pak, yang tinggal di sini." Edward membantu menjawab.
"Bukannya Bu Ria dan keluarga sudah pindah sejak tiga hari yang lalu? Adik nggak di kasih tahu?" tanya Bapak itu.Aku bergeming. Tubuhku kaku tak bergerak. Bahkan, mataku pun tak mau berkedip. Otakku terasa kosong, rasanya tidak dapat memproses informasi yang baru saja ku dengar.
Pindah? Bagaimana bisa? Angga tak memberikan kabar sedikit pun tentang ini.
"Oh, begitu ya, Pak, terima kasih informasinya, Pak," ujar Edward berterima kasih.
Saat tubuhku mulai gemetar, Edward menopang tubuhku dari belakang. Aku menatap Edward dengan tatapan tak percaya. Lalu kemudian, Edward mengantarku kembali ke rumah dengan hampa.
***
"Dward, sampai di sini aja," kataku pada Edward.
"Oh, ya udah, gue balik ya, Sar." Aku membalasnya dengan gumaman, lalu aku meninggalkannya tanpa mengucapkan terima kasih. Pikiranku benar-benar kacau saat ini. Rasanya aku juga tidak ingin masuk ke dalam rumah. Apa ini nyata? Kenapa Angga tiba-tiba pergi? Apa yang harus kulakukan sekarang? Tanyaku dalam hati.Aku menatap kosong pintu rumahku. Pikiranku masih melayang.
"Dik Sarah," sapa bi Sum. "Sudah makan?" Tanyanya. Aku menggeleng.
Aku tetap melanjutkan langkahku ke kamar.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Aku tidak bisa menjelelaskan perasaanku saat itu. Rasanya aku tahu kalau hubungan aku dan Angga sudah berakhir, namun aku berusaha untuk tidak percaya Angga meninggalkanku begitu saja.
"Dik Sarah," panggil Bi Sum sesaat setelah aku masuk kedalam rumah. "Tadi ada yang kirim paket buat Dik Sarah."
Sejenak aku menatap paket yang disodorkan Bi Sum padaku sebelum akhirnya aku mengambilnya dari tangan Bi Sum. Aku tak berkata apa pun pada Bi Sum.
***
Aku masih mematung diatas kasur, terus berusaha mencerna dalam pikiranku apa yang sedang terjadi. Paket yang tadi diberikan bi Sum akhirnya dapat menarik perhatianku untuk membukanya, paket itu terlihat sangat familiar. Di dalamnya. Ada sebuah bunga dari kertas. Dengan warna ungu sebagai pemeran utamanya. Dan ada lagi sebuah surat dengan beramplop warna peach pucat.
To: Sarah
From: AnggaSarah. Maaf karena surat ini akan terasa menyakitkan, khususnya untuk kamu. Aku memang pengecut. Aku nggak berani bilang langsung saat terakhir kali kita bertemu. Aku dan Mama harus pindah ke Sydney Sar. Kami akan memulai hidup baru di sana.
Sarah, maaf karena aku harus mengakhiri hubungan kita dengan cara seperti ini. Aku tahu ini adalah hal paling pengecut. Aku harap suatu saat kamu akan mengerti dan memaafkan aku. Jaga diri kamu baik-baik ya, Sar.
![](https://img.wattpad.com/cover/127947120-288-k515112.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Purple Goodbye" [COMPLETED]
Romance[CERITA TELAH SELESAI] Sarah Regina, adalah seorang pecinta senja seperti kebanyakan gadis diusianya. Dia juga memiliki senjanya sendiri yaitu Angga Bagas Sucipto. Laki-laki yang membuat semua waktunya terasa lebih berarti juga laki-laki yang membu...