Sudah dua tahun lebih aku dan Angga kembali bersama. Tidur adalah hal paling mengerikan selama beberapa bulan ini. Pertanyaan demi pertanyaan timbul selaras dengan ketakutan yang hinggap disetiap malamku. Apa semua akan tetap sama seperti sekarang? Atau bahkan, apa mungkin hari esok akan lebih indah dari hari ini? Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi nanti.
***
Mungkin hari ini Angga bisa tersenyum. Akan tetapi, aku tidak tahu apakah besok Angga masih bisa tersenyum atau tidak, mengingat kanker yang sempat tumbuh dalam tubuh Angga kembali ada. Tenyata, Angga belum sembuh total. Meskipun Tante Ria berkata bahwa Angga akan menjalani pengobatan alternatif, tetap saja hal itu membuatku takut. Tak ada hal yang kutakutkan selain kehilangan Angga untuk kedua kalinya. Yang lebih menyakitkan adalah saat aku sadar kalau Angga akan menghilang ke tempat yang tidak akan dapat aku kunjungi sewaktu-waktu aku merindukannya.
Aku memutuskan untuk tidak menangis lagi. Ya, sudah kesekian kalinya aku berjanji untuk tidak menangis, tetapi selalu berakhir ingkar. Mau bagaimana lagi? Aku benar- benar tidak sanggup melihat kondisi Angga. Laki-laki itu tampak kuat, tetapi aku tahu bahwa ia juga rapuh.
Mobilku berhenti tepat di depan sebuah kafe. Ya, kafe kenanganku bersama Angga. Kafe ini masih tetap sama, tetapi design-nya sedikit berubah lebih modern sejak terakhir kali aku berkunjung bersama Angga. Kalau dihitung-hitung, sudah empat tahun yang lalu.
Aku tersenyum saat mengingat Angga yang tengah merayuku di kafe ini. Kulirik jam di layar ponselku yang menunjukkan pukul 5 sore. Jakarta mulai macet. Mungkin, sekitar satu jam lagi aku baru tiba di rumah Angga.
***
Tempat ini adalah tempat yang lebih baik daripada rumah sakit. Terlalu menyeramkan melihat orang-orang berjas putih yang memberi suntikan dan memasang selang-selang di tubuh Angga. Aku menarik nafasku berat untuk meyakinkan diriku. Aku harus masuk ke dalam.
Sebelum masuk ke dalam kamar Angga, aku harus memastikan barang bawaan di tasku tidak ada yang membahayakan. Tubuh Angga tidak lagi bisa tersentuh gelombang radiasi dalam bentuk apa pun. Kemarin, Angga sempat drop karena Tante Ria lupa mengeluarkan TV dari kamar Angga. Wanita kuat itu dengan setia mengurus Angga seorang diri. Aku tak pernah keberatan untuk menolongnya selama aku bisa terus memandangi kekasihku, Angga.
Akhirnya, aku bisa menguatkan hatiku untuk menghampiri Angga. Tak ada telepon dadakan yang kuterima. Itu berarti, tak ada kabar buruk yang harus Tante Ria sampaikan padaku. Kuketuk sebuah pintu besar yang bernuansa kayu.
"Sarah? Masuk, Sayang," sapa Tante Ria. "Gimana tadi ujiannya?" Lanjut Tante Ria.
Ya, aku baru saja dari kampus untuk mengikuti ujian susulan. Minggu lalu aku tak mengikuti ujian karena kondisi Angga yang tiba-tiba drop.
"Bisa dong, Tante. Gampang kok." Aku mengekori Tante Ria yang melangkah menuju dapur.
"Angga lagi tidur ya, Tante?"
"Udah dari tadi sih. Kayaknya udah bangun deh."
"Mama sama Papa titip salam, Tante. Mereka juga titip ini," kataku sambil meletakkan setoples kue nastar buatan Mama di atas meja.
"Wah, repot-repot. Makasih ya, Sar."
"Iya, Tan." Aku tersenyum melihat Tante Ria. Tante Ria sudah aku anggap seperti Mamaku sendiri.
"Kamu naik duluan aja, Sar. Tante mau beresin dapur abis bikin bubur Angga tadi."
"Oke deh, Tante."***
Aku menaiki tangga menuju kamar Angga. Dalam hati kecilku, aku merasa sedikit takut.
Klek!
Kubuka pintu kamar Angga. Sebuah aroma yang masih terasa sama menyeruak ke dalam hidungku. Aroma maskulin khas Angga yang bercampur dengan sedikit aroma obat khas rumah sakit.
Angga masih tertidur. Kulihat deretan morfin milik Angga sudah tersisa sedikit. Bahkan, tidak sampai setengahnya. Melihat itu, aku tahu seberapa besar rasa sakit yang berusaha Angga sembunyikan dari kami.
"Uhuk!" Angga terbatuk. Aku segera mengambil wadah khusus yang sudah tersedia di kamar Angga. Aku mengelus punggung Angga.
"Udah?" tanyaku. Angga hanya menganggukan kepalanya. "Nih, Cip." Aku memberikan permen karet agar mulutnya terasa manis sehabis muntah tadi. Beberapa detik kemudian, Angga membuang permen karet itu. Angga memakannya hanya sampai ia merasa sedikit lebih baik.
"Udah nggak apa apa?" tanyaku lagi. Angga mengangguk lagi. Kali ini disertai senyum.Setelah Angga kembali tertidur, aku segera membereskan wadah yang tadi digunakan untuk Angga memuntahkan isi perutnya. Saat aku kembali, aku memeriksa deru napasnya dan mengelus wajahnya lembut. Tiba-tiba saja aku merindukan saat-saat kami tertawa dan saling berpelukan.
"Sar," panggil Angga pelan.
"Iya, Cip? Kamu butuh apa?" Aku masih setia terduduk di tepi kasur Angga.
"Panggil Mama," ujar Angga.
Lagi-lagi aku meneteskan air mata. "Ada yang sakit?" Angga tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Sebentar ya, Cip." Aku bergegas memanggil Tante Ria.Angga berbicara sangat pelan hingga Tante Ria harus menarik telinganya mendekati bibir Angga. Setelah mendengar Angga berbicara, Tante Ria meraih minyak untuk digosokkan ke dada Angga. Angga memang sering merasa sesak. Dan aku tahu kalau minyak yang digosokkan ke dada Angga merupakan minyak khusus.
Aku berjalan keluar kamar untuk menyelesaikan tangisku. Aku tidak ingin Angga dan Tante Ria melihatku menangis. Padahal melihat Angga yang sekarang terbaring lemah membuatku ingin menangis terus menerus.
Rasa takut yang menguasai hatiku begitu kuat. Aku belum siap dan tak akan pernah siap untuk melepaskan Angga.
"Sarah, ke sini, Sayang. Ada yang mau Angga
bicarakan," kata Tante Ria begitu aku masuk kembali ke kamar Angga. Kedua mata Tante Ria memerah. Pipinya basah.
"Sarah, Mama..." ucap Angga setelah aku terduduk di sebelah Tante Ria.
"Hmm?" jawabku dan Tante Ria. Satu tangan Tante Ria mengelus puncak kepala Angga pelan.
"Angga boleh ijin pergi nggak?" tanya Angga dengan suara yang semakin pelan.
"Angga mau kemana?" tanya Tante Ria balik. Aku menangis lagi tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Angga mau pergi ke tempat Papa, Ma." Angga terdiam sesaat seolah tengah mengumpulkan tenaga. "Angga udah nggak kuat kalau harus di sini."
"Angga jangan ngomong gitu ya. Jangan sekarang. Mama belum siap, Sayang." kata Tante Ria. Tante Ria membelai lembut wajah Angga seraya menghapus air mata dari sudut mata laki-laki yang kucintai. Keduanya sama-sama menangis. Sama sepertiku.
Angga tersenyum tenang. "Maafin Angga ya, Ma, belum bisa balas kebaikan Mama. Nanti, Angga bakal jagain Mama dari atas sana sama Papa."
Air mataku tumpah ruah. Tangisku kian pecah. "Sar," panggil suara kecil laki-laki itu. Sangat kecil, nyaris tak terdengar. "Titip Mama ya," pinta Angga. Kata-kata itu berhasil membuat dadaku terasa sesak. Jantungku tak keruan. Darahku berdesir hebat seolah tersedot.
"Jangan ngomong begitu, Cip." Mataku sedikit melebar. Seluruh tubuhku terasa dingin. "Aku juga belum siap," timpalku.
Janjiku untuk tidak menangis di hadapan Angga lenyap. Buliran di pelupuk mataku terjun secara bebas. Maaf karena aku menangis di hadapanmu, Angga. Desisku.
"Aku mohon, Cip. Kita masih bisa berjuang sama- sama. Ini terlalu cepat..." ucapku getir. Angga tersenyum mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Purple Goodbye" [COMPLETED]
Roman d'amour[CERITA TELAH SELESAI] Sarah Regina, adalah seorang pecinta senja seperti kebanyakan gadis diusianya. Dia juga memiliki senjanya sendiri yaitu Angga Bagas Sucipto. Laki-laki yang membuat semua waktunya terasa lebih berarti juga laki-laki yang membu...