Kembali Tersenyum

100 9 0
                                    


Empat hari sudah Edward pergi ke pengadilan untuk menemui Om Setiawan, Papanya. Kemarin, aku mendapat kabar baik kalau hukuman Om Setiawan diringankan menjadi tahanan kota setelah melakukan banding.

Edward menjelaskan padaku kalau Om Setiawan di tangkap oleh warga sekitar dan di bawa ke kantor polisi, karena di tuduh menabrak pengendara motor hingga meninggal. Om Setiawan ditetapkan sebagai tersangka dan harus menginap di kantor polisi.

Namun, rekaman CCTV yang ada di tempat kejadian menunjukan bahwa pengendara motor tersebut melanggar lalu lintas, lalu masuk ke jalur di mana Om Setiawan tengah melaju kencang. Hal itu membuktikan bahwa Om Setiawan tidak menabrak sang pengendara motor melainkan di tabrak. Akan tetapi, Om Setiawan tetap dianggap bersalah karena sang pengendara motor tersebut meninggal dunia.

***

Sejak kejadian Edward waktu itu, Edward jadi murung dan mengurung diri di rumah. Tapi saat om Setiawan dinyatakan tidak bersalah, sedikit demi sedikit Edward kembali tersenyum. Aku senang, ceria sahabatku telah kembali.

Hari ini, untuk yang kesekian kalinya Angga mengajakku pergi berkencan. Hal itu membuatku merasa bersalah. Karena masalah Edward kemarin, aku ikut murung dan tidak ingin pergi beberapa hari kemarin. Angga cukup mengerti perasaanku saat itu. Saat itu aku bersyukur karena memiliki kekasih sepertinya. Kekasih yang mengerti kalau diam lebih baik, hanya supaya tidak ada kata-kata yang terkesan menyakitkan dalam arti apapun.

Tuhan semoga hari ini berjalan baik...

***

Aku meminta Papa untuk mengantarku ke rumah Angga. Kebetulan, Papa sedang berada di rumah. Aku tidak ingin merepotkan Angga dengan memintanya untuk menjemputku tiap kali kami ingin pergi. Jika suatu saat nanti aku sudah bisa menyetir, aku ingin menjemputnya sesekali.

Saat tiba di rumah Angga, Angga menatapku kesal. Sudah kuduga, bahwa Angga tidak suka jika aku datang ke rumahnya tanpa dijemput terlebih dahulu olehnya. Tapi seharusnga ia juga mengerti kalau aku hanya tidak ingin merepotkannya.

"Aku nggak suka.."

"Iya.. maaf yaa .. jangan marah kan kita mau jalan-jalan.." Kataku saat Angga marah sambil bersiap-siap. Aku mengikuti langkahnya yang sedang berjalan mengambil tas dan isi-isinya.

"Aku bisa jemput kamu.."

"Tapi tadi ada papa di rumah jadi sekalian Cip.." Aku merangkul lengannya.

"Aku yang ajak kamu Sar, nggak enak kalau nggak ijin langsung ke orangtua kamu."

"Iya.. maaf.. nanti kamu anter aku pulang bisa ngobrol sama mereka kok. Papa mama aku lagi di rumah." Aku tersenyum lebar merayunya.

Setelah berjanji tidak akan mengulangi hal ini lagi, akhirnya Angga memaafkanku. Beberapa saat kemudian, kami beranjak pergi dari rumah Angga menuju tempat kencan kami.

***

Angga mengajakku ke sebuah kafe yang berada di Jakarta. Kafe ini memiliki desain yang sesuai dengan selera Angga. Nuansa kayu mendominasi tempat ini. Ada sebuah kaca besar yang menyuguhkan pemandangan para pengguna jalan raya.

"Udah, Mas, itu aja," kata Angga pada pramusaji.
"Satu Chiken Steak, satu Spaghetti Carbonara, dan dua Taro Latte dingin?" ulang pramusaji.
"Iya, Mas, benar." Angga memberi buku menu kepada pramusaji, lalu pria bercelemek hitam itu pergi meninggalkan kami.
Angga melipat kedua tangannya di atas meja. Ia menarik nafasnya berat, lalu menatapku dalam.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku belum puas mandangin kamu. Liburan ini nggak cukup"
Kurasakan hangat menjalar di pipiku. Sebenarnya, aku pun belum puas menghabiskan waktu bersama

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang