Rasa Sakit 2

80 8 0
                                    

Saat ini yang ku ingin hanya sendiri. Aku benar-benar tak habis pikir dengan apa yang terjadi dalam hidupku. Kejadian ini terjadi begitu cepat.

***

"Sarah!" Seseorang memanggilku.
Aku tak menoleh. Aku masih setia menatap langit gelap yang sedang menurunkan berjuta butiran air.

Jadi, seperti ini rasanya hujan? Saat hujan langit menjadi gelap.

Air hujan yang jatuh membuatku tidak lagi merasa kesepian yang menyakitkan. Namun sedetik kemudian, tatapanku pada langit terhalang sesuatu.

"Sar, ini hujannya deras banget," kata Edward sambil memayungiku dengan jaketnya.
Aku menatapnya dalam diam. Edward berusaha membujukku untuk berteduh di koridor sekolah, tetapi aku hanya menggeleng. Di saat yang bersamaan, aku mencoba menyingkirkan jaket Edward.

"Sar, jangan kayak gini. Nanti lo sakit," ujar Edward cemas.
Aku masih terdiam. Aku tersenyum datar ke arahnya berharap dia berhenti mengkutiku. Lalu, dengan malas aku berjalan menuju gerbang sekolah di bawah rintikan hujan.

"Dward, gue nggak apa-apa...," ujarku pelan. Perlahan, langkah Edward terhenti. Edward menurunkan jaketnya yang sejak tadi memayungiku.

Aku melihat mobil Papa dari gerbang sekolah. Apa aku sebegitu meyedihkannya hingga Papa menatapku miris? Sudah lama sejak terakhir Papa menjemputku di sekolah.

Beberapa saat kemudian, Papa menghampiriku dengan sebuah payung besar berwarna ungu. Dilepasnya jas yang membalut tubuh besarnya, lalu memasangnya di tubuhku yang basah. Dengan penuh perasaan, ia menuntunku masuk ke dalam mobil.

Sebesar itu efek yang diberikan Angga padaku? Ujarku dalam hati. Aku kira, aku adalah gadis hebat yang bisa melewati ini dengan mudah. Ternyata ini semua tidaklah mudah bagiku.

***

Seperti mati rasa, tubuhku bahkan sama sekali tidak merasa kedinginan saat angin menyapa kulitku saat hujan tadi. Aku tahu, aku tak bisa terus seperti.

Aku tak dapat menahan hasratku untuk tak menelepon Tante Ria. Namun, saat kutelepon, operator di seberang sana, entah di mana, menyebutkan bahwa nomor itu sudah tidak aktif lagi. Ini sangat aneh. Apa yang terjadi sebenarnya hingga Angga mengikis jejak sebersih itu. Mungkinkah Tante Ria menikah dengan orang asing yang berasal dari Sydney hingga mereka harus pindah?Atau ada sesuatu yang terjadi pada Angga hingga ia memutus hubungan denganku? Hidup dengan penuh pertanyaan seperti ini membuatku gila. Aku butuh jawaban darinya. Setidaknya, satu jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang ada di benakku.

***

ANGGA!!!
Untuk kesekian kalinya aku memimpikan laki-laki itu. Melihatnya dalam mimpi membuat goresan bertambah di dalam hati. Semakin terasa perih dan menyesakkan. Bi Sum belum membangunkanku, mungkin belum saatnya aku bangun untuk bersiap ke sekolah.

Sepertinya aku butuh teman bicara. Aku menekan beberapa rentetan nomor yang kuhafal di luar kepala.
"Halo, Sar?" jawab seseorang dari seberang sana. Edward. Lagi-lagi aku menelponnya tanpa sadar.

Bodoh! Seharusnya bukan Edward yang ku hubungi.

Tanpa pikir panjang, segera kuputus sambungan telepon itu, lalu mencoba tidur kembali.

***

Koridor ini masih terasa sepi. Namun, sepi kali ini berbeda dengan waktu itu. Sepi ini lebih menyakitkan.

Aku sudah memutuskan untuk memperbaiki hari-hariku yang berantakan selama satu bulan terakhir. Aku harus mengalihkan fokusku pada hal lain. Masih ada ujian kelulusan yang harus ku jalani.

Sangat bodoh kalau aku tidak lulus hanya karena patah hati.

"Sar, tadi Dio bilang lo dicari Bu Yuli," kata Edward yang sudah duduk di sebelah tempat dudukku. Ya, aku masih duduk bersebelahan dengannya.
"Ada apa?"
"Gue kurang tau, Sar. Tapi lo ditunggu di ruangannya pas jam istirahat pertama."
"Oh, oke deh. Makasih, Dward, infonya."

***

Aku mengetuk pintu hijau ruangan Bu Yuli. Terdengar sebuah suara dari dalam sana.
"Masuk!"
"Siang, Bu."
"Oh, Sarah. Sini duduk," kata Bu Yuli sambil membenarkan kacamatanya. Ia tersenyum menatapku.
"Ada apa, Sarah?"
"Kata Dio, Ibu manggil saya ke sini?" tanyaku bingung.
"Bukan itu, Sar. Ada apa sama kamu? Ibu dapat laporan kalau nilai kamu banyak yang turun setelah Ujian Tengah Semester kemarin. Kalau nilai kamu serendah ini, ibu takut kamu tidak lulus."
Mataku melebar mendengarnya. Apakah separah itu nilaiku?
"Apa saya masih boleh mengambil ujian perbaikan, Bu?"
Bu Yuli tersenyum. "Mungkin kamu harus menghubungi guru mata pelajaran yang bersangkutan untuk mendapat tugas tambahan."
Aku terdiam mendengarkan.
"Ibu sarankan kamu lebih giat lagi dalam belajar dan lebih fokus di kelas agar nilai kamu bisa kembali stabil. Kalau perlu kamu ambil kelas tambahan di luar jam sekolah supaya kamu bisa mengejar pelajaran."
"Baik, Bu. Saya akan pertimbangkan terlebih dahulu. Terima kasih atas perhatian Ibu. Apa saya boleh ijin untuk kembali ke kelas Bu?"
"Oh, baik, silakan."
Saat aku keluar dari ruangan Bu Yuli, aku mendapatkan Edward yang tengah menungguku.
"Gimana, Sar?"
"Apa?"
"Nggak terjadi apa-apa kan?"
"All fine."
Edward tersenyum, "Lo belum sempat beli makan kan? Nih, gue beliin. Sepuluh menit lagi udah bel masuk. Di makan ya, Sar." Edward menyodorkan bungkusan makanan itu, lalu pergi meninggalkanku sebelum aku mengucapkan terima kasih.

***

"Sar, lo ngerti nggak?" tanya Edward setelah Pak Yos menjelaskan materi integral.
Aku menggeleng.
"Ini gampang kok, Sar. Jadi, lo buat aja permisalan u=dx-y. Habis itu, diturunin biar ketemu nilai u-nya. Terus, nilai u-nya dimasukin ke sini," ujar Edward menjelaskan.
"Oh, begitu. Gue ngerti deh kayaknya, makasih ya."
Pikiranku kembali kosong. "Dulu Angga sering gue ajarin kalau dia ketinggalan pelajaran." Aku tersenyum kecut.
"Eh, Sar, dengar nggak tuh? Suara bel pulang sekolah.Yuk, beres-beres!"
Aku mengangguk.
"Hari ini lo balik sama siapa, Sar?"
"Taksi."
"Mau bareng?"
Aku menggeleng. "Makasih ya, Dward, tapi nggak usah. I'll be fine."

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang