Ternyata, aku salah. Aku tidak bermimpi. Semua yang kualami adalah nyata. Pagi tadi, aku melihat Florece dan Edward berbincang di ruang tengah. Edward menutupi wajahnya, sedangkan Florence sibuk menenangkan Edward.
Seperti luka yang di siram cuka. Rasanya sangat perih. Sesak saat menerima kenyataan bahwa itu semua adalah benar adanya. Haruskah kenyataan seperti ini terjadi, Cip? Aku membatin. Kenyataan benar-benar sangat mengerikan.
***
Rumah sakit ini adalah rumah sakit yang sama seperti kemarin. Aku berjalan dibantu oleh Edward dengan tubuh gemetar. Mengetahui kenyataan yang terjadi pada Angga sekarang, lebih mengerikan dari pada kehilangan Angga yang pergi saat itu.
"Itu Sarah." Dengan senyum Tante Ria menatapku saat aku berhenti di ambang pintu.
Aku tidak menangis. Perlahan, aku duduk di kursi yang berada di sebelah kasur Angga. Aku menatapnya seraya mengangkat tanganku bergerak untuk menyentuh wajahnya. Aku sangat ingin memeluknya. Namun, aku takut menyakitinya. Hati yang sempat terasa hampa, sekarang mulai terisi lagi."Sarah, kami keluar dulu ya," kata Tante Ria.
Aku menoleh saat semua orang keluar dari ruangan, termasuk Edward. Angga menatapku dengan senyum manisnya. Senyum yang ingin kulihat sejak lama.
"Sarah, ada banyak hal yang mau aku ceritain," ujar Angga memecah keheningan di antara kami.
Aku menatap Angga dalam diam.
"Sarah, maaf— "
"Kamu pengecut!" Aku memotong ucapan Angga. Angga menatapku bingung, seperti tidak siap dengan respon yang kuberikan.
Air mataku mulai tak dapat kubendung lagi.
"Satu tahun membenci kamu adalah kebohongan yang paling menyakitkan." "Sarah..." lirihnya.
"Kenapa kamu harus bohong?" tanyaku menatap tajam laki-laki yang ada di depanku. Angga tersenyum mencoba meraih telapak tanganku yang sejak tadi gemetar.
Aku menangkis tangan Angga lembut. "Kenapa kamu harus lari?" kataku. "Kenapa kamu harus lari dengan cara kayak gitu, Cip?"
Aku melihat Angga menarik napasnya panjang. Kuhapus sisa air mata yang mengalir di pipiku dan berusaha untuk tidak menangis lagi.
"Cip, kita bisa hadapi ini sama-sama," suaraku melunak. "Aku janji. Aku janji sama kamu aku nggak akan nangis. Aku janji nggak akan ngeluh. Aku janji." Angga menempelkan jari telunjuknya ke bibirku untuk membuatku diam.
"Sarah, udah aku bilang aku punya banyak cerita buat kamu," kata Angga sambil tersenyum "Aku emang pengecut. Lebih dari itu, aku cengeng, Sar. Kamu tahu nggak? Habis masuk ke bandara waktu itu, aku cuma bisa nangis dipelukan Mama." Angga menghela nafasnya. "Kedatangan kamu membuat aku takut. Aku lebih penakut dari yang aku kira." Angga tersenyum kecil. Tangannya terulur membelai pipiku untuk menghapus air sisa-sisa air mataku.
"Ternyata lebih berat rasanya pas kamu datang menyusul. Dan lebih berat lagi melihat kamu berharap aku kembali," jelasnya.
Mendengar penjelasan yang ingin kudengar satu tahun lalu membuat dadaku terhimpit sesak.
"Setahun ini, aku selalu membayangkan seorang gadis yang sangat menyukai warna langit ungu kemerahan di sore hari. Gadis yang suka mencubit aku saat marah, gadis yang akan menangis sejadi-jadinya kalau tidak berada di dekat aku. Walau aku sudah menyakitinya, aku tahu kalau gadis itu pasti maafin aku ," tukas Angga tersenyum. Aku merasa miris mendengarnya
"Kamu tau nggak, Sar? Setiap pagi aku bangun dan bertahan, karena aku mau melamar pacar cerewet yang selalu menangis saat jauh dariku. Pacar yang setiap hari aku rindukan. Akhirnya, kemarin gadis itu datang juga. Makasih ya, Sarah." Angga kembali tersenyum sambil menghembuskan nafasnya lembut. "Kamu inget nggak kalau aku masih punya janji mau bawa kamu ke Pyrmont Bridge? Kita harus lihat matahari tenggelam dari sana sama-sama. Mumpung kamu lagi di sini, aku mau tepatin janji aku."
Aku menangis. Aku mengingkari janjiku sendiri utuk tidak menangis. Akan tetapi, kali ini aku tidak menangis sendirian. Aku melihat bulir air mata yang jatuh dari sudut mata Angga.
"Cip," gumamku berusaha menahan tangis.
Angga terdiam, menungguku melanjutkan ucapanku. "Aku nggak pernah ngelupain semua janji kamu ke aku. Kamu harus tepatin semua itu." Air mataku lolos dari zonanya lagi. "Cip, aku mohon, kamu harus sembuh. Aku mohon, kamu harus hidup lebih lama sama aku. Sama-sama kita tepatin semua janji kita." Tangisku kian pecah.
Maaf karena aku tidak dapat mengontrolnya. Maaf. Lirihku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Purple Goodbye" [COMPLETED]
Romance[CERITA TELAH SELESAI] Sarah Regina, adalah seorang pecinta senja seperti kebanyakan gadis diusianya. Dia juga memiliki senjanya sendiri yaitu Angga Bagas Sucipto. Laki-laki yang membuat semua waktunya terasa lebih berarti juga laki-laki yang membu...