Kata Tante Ria, kemarin, radioterapi yang terakhir berhasil. Hanya tinggal pemulihan. Waktu itu Tante Ria bilang, kalau dia sudah ikhlas jika sesuatu yang buruk menimpa Angga.
Namun, tidak denganku. Aku tidak akan pernah dan akan menjadi satu-satunya orang yang tidak akan mengikhlaskan Angga. Aku masih yakin kalau Angga akan menepati janjinya lagi. Dia sudah melamarku di jembatan Pyrmont Bridge dan sudah berjanji untuk sembuh untuk menjagaku kembali.
***
Hari ini, aku kembali ke Jakarta bersama Edward. Katanya, Angga juga akan segera kembali Jakarta. Aku sangat menanti kepulangannya.
"Sar, boleh aku antar kamu pulang?"
Aku menggeleng. "Makasih, Dward."
"Hmm... kamu nggak mau aku antar pulang?" tanyanya lagi sambil mengerutkan kening.
Aku tersenyum. "Makasih karena kamu, akhirnya aku bisa ketemu lagi sama Angga."
"Udah seharusnya aku ngelakuin itu buat sahabat aku, Sar." Edward tersenyum teduh. "Tapi, untuk kali ini aku antar kamu pulang ya? Please..."
Aku mengangguk. Tidak seharusnya aku menjaga jarak dengan Edward.***
Sesampainya di rumahku, Edward segera pamit untuk pulang ke rumahnya. Biasanya, ia selalu mampir ke rumahku terlebih dahulu untuk sekedar berbincang dengan Mama atau Papa jika keduanya sedang berada di rumah.
***
"Halo?" sapaku begitu aku menerima panggilan telepon. "Sudah sampai? Rumah sakit mana, Tante?"
"..."
"Oh, itu deket kok, Tante. Satu jam lagi aku bisa sampai di sana."
Aku menutup sambungan telepon, lalu bergegas menyiapkan barang untuk menginap beberapa hari.Aku tiba di depan kamar rawat Angga, ruang 2036. Ruangan khusus pasien pengidap kanker di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Kesakitan yang Angga alami karena radioterapi sudah berhasil ia lalui. Kemoretapi yang mengerikan pun sudah Angga taklukkan. Aku siap melihat Angga tersenyum lagi.
"Selamat sore, Cip!!!" ujarku riang saat membuka pintu. "Sarah," sahut Angga dengan senyum mengembang. "Tante udah makan? Aku bawain Tante makanan nih. Aku taruh di sini ya, Tante." Aku meletakan bungkus makanan di atas meja.
"Ma, Angga boleh coba nggak?" kata Angga sambil menunjuk ke arah makanan yang aku bawa.
"Jangan, Angga. Kamu belum boleh makan sembarangan kata dokter," larang Tante Ria pada anaknya yang nakal itu.Aku menghampiri Angga seraya tersenyum padanya.
"Duduk aja, Sarah. Tante mau urus administrasi dulu di bawah. Tante titip Angga ya sebentar."
"Dadah, Mama," ujar Angga semangat. "Sar, sini dong!"
Aku menoleh. Angga menepuk kasurnya, lalu bergeser memberiku tempat untuk berbaring di sebelahnya.
"Masih ada yang sakit?" tanyaku sambil menatap langit-langit kamar.
"Nggak juga."
"Kalau sakit bilang aku ya."
"Iya." Angga tersenyum, lalu menghembuskan
nafasnya kasar hingga aku mendengarnya. "Kamar ini jendelanya menghadap ke matahari terbenam, lho, Sar. Kita bisa nikmatin langit yang kamu suka itu nanti sore."
"Cip," panggilku setelah terpaku beberapa saat. "Ya?"
"Boleh nggak misi untuk agent A berikutnya, harus berjuang lebih keras lagi untuk sembuh?"
Angga tersenyum."Aku nggak bisa janji, Sar. Tapi, aku selalu berusaha buat itu."
"Berusaha lebih keras lagi ya, Cip. Sekarang, aku ikut berusaha bareng kamu." Tanpa sadar buliran air mata jatuh dari pelupuk mataku.Bintangku saat ini sedang sendu
Cahayanya tak secemerlang biasanya Bintangku saat ini sedang menderu Suaranya tak sejernih biasanya
Malaikat...
Bintangku hanya satu
Kumohon jangan ambil bintangku
Karena aku tak tahu apakah aku dapat hidup tanpa cahaya dari bintang itu.
-Oleh Sarah Regina-
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Purple Goodbye" [COMPLETED]
Romantizm[CERITA TELAH SELESAI] Sarah Regina, adalah seorang pecinta senja seperti kebanyakan gadis diusianya. Dia juga memiliki senjanya sendiri yaitu Angga Bagas Sucipto. Laki-laki yang membuat semua waktunya terasa lebih berarti juga laki-laki yang membu...