Misi Di Sydney

69 6 0
                                    

Seperti masih berada di alam mimpi. Bukan ini yang aku harapkan. Aku menemani Angga melakukan radioterapi untuk membunuh sel kankernya. Sakit melihat Angga kesakitan seperti itu. Setelah obat penahan rasa sakit itu disuntikan, Angga dapat tertidur dengan lelap.

Aku menutup wajahku, lalu beranjak keluar kamar. Kututup pintu kamar rawat Angga perlahan karena takut membangunkannya. Kulihat Tante Ria tengah duduk di depan ruangan Angga. Aku menghampirinya.
"Sarah..." panggil Tante Ria pelan.
"Iya, Tante," jawabku.
"Duduk sini, Sayang," titah Tante Ria.
Aku menuruti. Setelah aku terduduk di sebelah Tante Ria, hening melingkupi kami beberapa saat.
"Waktu itu, Angga Tante paksa pindah ke sini untuk berobat." Tante Ria membuka suaranya pelan.
Aku menatap Tante Ria miris. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan matanya bengkak. Setiap malam Tante Ria pasti menangis melihat kondisi Angga hingga
tertidur.
"Dia sama sekali nggak takut kemoterapi. Justru dia selalu semangat. Setiap dia sadar dari kemoterapi, dia selalu nanya ke Tante. Kalau dia sembuh, dia boleh kembali sama kamu lagi atau nggak." Tante Ria tersenyum datar. "Anak nakal itu selalu aja mikirin kamu. Terima kasih ya, Sarah, karena kamu Angga selalu semangat dan terus bertahan." Aku menarik bibirku untuk tersenyum, lalu mengangguk.
"Setiap habis kemoterapi dia selalu tersenyum dalam tidurnya dan mengucapkan nama kamu, Sarah." Kulihat Tante Ria tak kuat menahan tangisnya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan terisak.
Aku paham, bebannya lebih berat dari bebanku. Perlahan, aku memeluknya erat.
"Kita sama-sama berdoa ya buat Angga," pinta Tante Ria kepadaku.
Kami berdua kembali hening sesaat.
"Tante, ada yang mau aku tanyain," kataku memecah keheningan.
"Mau tanya apa, Sayang?"
"Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi Sarah ingin tahu banget tentang ini, Tante." Aku menarik nafas panjang. "Kenapa Edward bisa tahu keberadaan Tante dan Angga?"
Tante Ria tersenyum. "Waktu itu, Edward tiba-tiba telepon Tante. Tadinya Tante nggak mau kasih tahu keberadaan Tante dan Angga karena Angga belum sembuh. Tante bingung," air mata mulai menetes kembali dari mata sayu itu, "Edward, dia meyakinkan Tante untuk kasih tahu yang sebenarnya terjadi. Dia buat Tante sadar kalau ternyata Angga butuh kamu. Nggak seharusnya Tante tutupin ini dari kamu lebih lama lagi," tutup Tante Ria.

***

"Masih sakit?" tanyaku sambil membantu Angga yang berusaha duduk.
"Udah enggak," jawab Angga tersenyum. Wajahnya tampak tidak segar setelah radioterapi itu.
"Penyakit itu menyeramkan nggak, Cip? "
"Engga kok, sama sekali aku nggak takut."
"Kenapa kamu sih, Cip, yang harus sakit? Kenapa bukan aku?"
"Sar, nggak boleh ngomong kayak gitu."
"Aku ngerasa Tuhan nggak adil, Cip." Pipiku mulai basah karena air mataku lagi-lagi mengalir.
"Sarah, Tuhan itu adil, karena itu Dia mencoba
memberikan ujian sesuai dengan kemampuan umatnya. Aku itu lebih kuat dari yang kamu tahu, Sar. Makanya aku yang ngalamin ini," tukas Angga.
"Angga, ini terlalu nggak adil." Aku membenamkan wajahku di tepi kasur, menangis.
"Jangan bilang begitu, Sar. Tuhan udah baik banget sama aku karena udah ngasih kamu. Hidup aku udah sempurna karena kamu. Aku janji! Aku pasti sembuh biar semuanya jadi adil untuk kamu," tegasnya seraya mengelus lembut puncak kepalaku.

Bagaimana Angga bisa setegar ini? Bagaimana bisa Angga sama sekali tidak marah pada takdir? Bagaimana bisa Angga lebih memikirkan aku dibanding kondisinya yang parah saat ini? Otakku terus muncul berbagai macam pertanyaan yang baru.

Memeluk Angga sekarang ini terasa berbeda. Tubuhnya lebih kurus dari tubuh yang sering kupeluk. Menyadari hal itu membuatku ingin berteriak karena ketakutan merayapi hati kecilku.

Laki-laki itu, laki-laki yang sangat kuat. Laki-laki yang sangat tegar dengan kondisinya sekarang. Bahkan, laki- laki itu tahu bagaimana caranya marah pada takdir yang diberikan dalam hidupnya.

"Sarah, aku masih menyimpan ini, lho!" Angga mengambil sebuah kotak dari laci sebelah kasurnya.
Aku sedikit terkejut. "Itu... kartu-"
"Pertolongan Pertama untuk Cinta," ujar aku dan Angga bersamaan, lalu tertawa kecil.
"Masih kamu simpan?" tanyaku.
"Aku baca setiap hari."
"kamu nggak bosan?"
"Sama sekali enggak. Setiap aku kangen kamu, aku selalu buka semua kartu itu. Buka foto-foto kita. Sampai aku senyum-senyum sendiri" Angga menghela nafas. Bibirnya mengulas senyum.
"Kartu pertolongan cinta ini harusnya udah nggak perlu kamu baca karena kamu nggak butuh." Aku tersenyum sambil melihat kartu-kartu itu. "Kartu ini nggak diperluin lagi, karena aku udah cukup dewasa untuk nggak marah- marah kalau lagi PMS," kataku sambil memasukkan satu kartu ke dalam kotak. "Kamu juga nggak butuh lagi kartu ini, karena aku nggak mau bikin kamu marah lagi." Kutarik nafasku panjang. "Aku mau buat kartu- kartu lainnya. Kartu yang bisa bikin kamu nggak akan tinggalin aku." Kemudian, aku tak sanggup melanjutkan perkataanku selanjutnya. Terlalu menyakitkan untuk berharap saat ini. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Sebuah tangan menarik tubuhku membuatku mendekat dengan tubuh si pemilik tangan.

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang