Edward

57 5 0
                                    

Sejak kuliah Edward memilih untuk tinggal di sebuah apartment studio dekat kampus. Awalnya karena takut kesiangan, tapi rasanya dia memang lebih nyaman tinggal sendiri untuk sementara ini. Aku sempat iri karena aku tidak bisa menyewa kosan atau apartment dekat kampus. Mungkin rasanya akan lebih seru kalau saat kuliah kita belajar jauh dari orangtua. Sayangnya, aku anak perempuan yang disayang kedua orang tuaku sehingga aku tidak bisa memilih untuk jauh dari mereka. Untungnya sudah banyak angkutan umum yang membuatku mudah untuk bepergian.

***

Malam itu, aku pergi ke apartemen Edward karena ia sama sekali tidak membalas semua pesan dan teleponku. Perasaanku tidak enak.

Saat tiba di apartemen, aku melihat Edward tengah merebahkan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan matanya. Tampaknya, Edward kurang sehat.

"Gue nggak apa-apa, Sar." Suara itu terdengar sangat tak bertenaga. Kusentuh wajahnya dengan telapak tangan kananku.
ASTAGA TUBUHNYA PANAS! Desisku dalam hati.

Aku menepuk wajahnya beberapa kali. Edward menggumam pelan. Segera aku pergi untuk mencari handuk dan es batu untuk mengompres. Aku khawatir karena suhu tubuhnya yang cukup tinggi. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Aku membantu Edward untuk berbaring di kasur. Ia meraih tanganku, lalu merangkulnya. Tubuhnya masih panas, tetapi kondisinya sudah sedikit membaik.
"Dward, minum ini," titahku sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air putih.
"Gue hubungin orang tua lo ya, Dward?"
"Nggak usah, Sar. Mereka lagi di luar kota," cegahnya dengan suara pelan.
Rasa khawatir ini pernah kurasakan saat Angga sakit di kafe. Ah! Lagi-lagi bayangan Angga hadir dipikiranku. Aneh.

***

Aku duduk di sofa apartemen Edward. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 1 dini hari. Cepat sekali waktu berlalu. Aku beranjak ke kasur Edward untuk memeriksa suhu tubuhnya. Syukurlah, suhunya sudah menurun. Mungkin, obat itu bekerja dengan baik.

Aku melangkahkan kakiku pelan agar Edward tidak terbangun.
Semoga masih ada taksi di luar sana. Harapku dalam hati.

"Sar," panggil Edward tiba-tiba. "Udah malam, nggak usah pulang. Bahaya. Gue bisa tidur di sofa." Edward beranjak dari kasurnya dengan mata yang masih setengah menutup.
"Jangan." Aku menarik tangan Edward. "Gue nggak pulang, tapi lo jangan tidur di sofa. Gue aja yang tidur di sana." Aku menuntunnya kembali ke kasur.

***

Aku terbangun di atas kasur Edward. Saat ini, ia masih tertidur di sofa yang aku tiduri semalam. Kapan Edward memindahkanku? Pikirku. Aku bergegas menghampiri Edward yang tengah meringkuk tanpa selimut. Hanya mengenakan kain tipis sebagai selimutnya.

Terbuat dari apa hati pria ini? Sampai kapan ia harus terus berkorban untuk membuatku nyaman? Ujarku dalam hati.

Aku berlutut di hadapannya tanpa suara. Sedikit air mata haru mengalir dari pelupuk mataku. Tak lama kemudian, Edward terbangun, lalu menatapku.
"Sar... kenapa nangis?"
Refleks aku memegangi keningnya.
"Panas lo belum turun. Kenapa lo tidur disitu, Dward?"
"Nanti badan lo sakit kalau tidur di sini." Edward beranjak duduk. "Sar, jangan duduk di bawah. Sini naik."
"Tapi lo jadi tambah sakit sekarang," kataku sambil duduk di sebelah Edward. Aku kesal dengannya.
"Nggak apa-apa, gue udah mendingan kok. Nanti siang juga udah normal."
"Dward, jangan kaya gini terus. Jangan selalu mikirin gue."
Edward tersenyum seraya mengacak rambutku.
"Udah ah nggak usah lebay. Gue lapar nih. Mau temenin gue makan nggak, Sar?"
Seketika aku memeluknya. "Dward, dari awal gue tau lo nggak baik-baik aja."  pipiku terasa basah saat mengucapkan itu.
"Sar, lo tau kan, melihat lo selalu senang dan nyaman udah cukup buat gue bahagia. Jadi makasih ya udah dateng semalam."
"Dward, apa boleh kita kayak gini terus?"
"Apa yang salah Sar dari kita?"
"Gue yang salah, Dward. Gue masih nggak ngerti sama perasaan gue yang sekarang."
"I'll be fine, Sar. Dari awal gue udah mutusin buat nungguin lo kan. Udah jangan nangis lagi, lo kan biasanya galak bukan cengeng."
Air mataku kembali menggenang di pelupuk mataku. Tapi aku tetap memaksakan senyum. Aku tidak bisa berkata apapun.

"Sampai kapan mau duduk? Keluar yuk makan sekalian gue anter lo balik." lanjut Edward.

Apa aku salah kalau terus seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar tidak mengerti. Sebuah perasaan aneh mulai muncul saat aku bersama Edward.

"My Purple Goodbye"  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang